Khitbah Dalam Perspektif Islam

                    

KHITBAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM

 






 

Disusun oleh :

Fulung Wahyu Nugroho

  

KELAS KEPAKARAN SYARIAH

SEKOLAH TINGGI ILMU DA’WAH MOHAMMAD NATSIR ( STID )

1444 H / 2023


 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kehadirat Allah atas segala rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Khitbah dan hak perempuan terhadap mahar” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari rekan-rekan yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Tafsir Ayat Ahkam. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah pengetahuan kami dalam memahami tafsir dan juga kandungan hukum yang ada didalam ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 235-237 yakni membahas Khitbah dan hak perempuan terhadap mahar.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.


 

BAB I

PEMBAHASAN

 

a. Pengertian Khitbah

Khitbah secara bahasa artinya meminang/melamar dari kata خطب ، يخطب.[1] Khitbah adalah pendahuluan (langkah awal) dalam proses menuju pernikahan telah disyariatkan dalam agama, sebelum disatukan yang dengan akad pernikahan, agar masing-masing dari calon mempelai mengetahui calon pendampingnya, dan selanjutnya melaju ke jenjang perkawinan dengan mengetahui hal-hal yang dianggap perlu.[2]

 

a. Nash dan Arti Al-Qur’an

Allah berfirman :

 

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

 

"Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut'ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka membebaskan atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah [2]: 235-237)[3]

 

b. Tafsir per Kata

"ارضتم": Sindiran." Dari kata ta'ridh yakni isyarat dan sindiran tanpa mengungkapkan tidak pula menunjukkan. Yakni ia memahami keinginan orang yang menyampaikan khitbah (lamaran) dengan suatu bentuk isyarat tanpa pernyataan yang tegas. Ta'ridh diambil dari kata 'ardhu asy-syai'i yakni sisi sesuatu.

Dalam Al-Lisan dikatakan 'arradha bisy-syai'i menyatakan sesuatu dengan sindiran tanpa menjelaskannya. Sindiran adalah kebalikan dari pernyataan tegas. Sedangkan maaridh adalah tauriyah (kamuflase) dengan sesuatu dari sesuatu yang lain. Dalam hadits, "Sesungguhnya dalam maäridh ada keleluasaan untuk menghindari dusta." Sindiran terkait lamaran kepada perempuan adalah menyampaikan perkataan yang mengesankan lamaran kepadanya, namun tidak dinyatakan dengan tegas. Misalnya: orang mengatakan kamu cantik, kamu benar-benar memikat banyak orang, dan kamu mengajak kepada kebaikan. Sebagaimana orang yang membutuhkan bantuan berkata; aku datang untuk menyampaikan salam kepadamu, dan untuk memandang wajahmu yang mulia. Maka dari itu mereka mengatakan, "Salam dariku sudah cukup bagimu untuk menyelesaikan masalah kita."

"خطبة النساء": Khithbah (peminangan) dengan harakat kasrah pada huruf kha, maksudnya mengajukan permintaan untuk menikah. Sementara khutbah adalah perkataan yang dimaksudkan untuk menyampaikan nasihat, seperti khutbah Jumat. Dalam hadits, "Jangan sampai siapa pun di antara kalian meminang atas pinangan saudaranya."

"اكننتم": Dari kata akna yang artinya menutupi dan menyembunyikan. Iknast artinya rahasia dan tersembunyi.

Ibnu Qutaibah mengatakan aknantu asy-syai'a artinya aku menutupi sesuatu. Dan kanantu asy-syai`a artinya aku menjaga sesuatu. Ini sebagaimana firman Allah Swt., "Seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik.

 

"لا تواعدوهن": Yang dimaksud dengan rahasia di sini adalah pernikahan sebagaimana yang disebutkan oleh Az-Zajjaj dalam bait syair yang disampaikannya:

Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa rahasia digunakan sebagai kata kiasan dari pernikahan karena pernikahan (hubungan intim) terjadi secara rahasia di antara suami istri. Maksudnya jangan menjanjikan pernikahan kepada mereka sementara mereka masih dalam masa iddah kecuali dengan isyarat mata (kerdipan).

"عقدة النكاح": Akad dari kata 'aqd yakni ikatan. Dalam pepatah dikatakan, "Hai 'aqid (yang mengikat) ingatlah pelepasan.

Ar-Raghib mengatakan 'uqdah adalah isim bagi sesuatu yang dikenai ikatan, seperti pernikahan, sumpah, atau lainnya.

Az-Zajjaj mengatakan maksudnya: la ta'zimû ala 'uqdati an-nikah adalah jangan melakukan pengukuhan terhadap akad nikah. Kata alá tidak disebutkan untuk meringankan. Sebagaimana yang mereka katakan dharaba zaidun azh-zhahra wal- bathn: Zaid memukul punggung dan perut. Maksudnya alá azh-zhahr wal-bathn, pada punggung dan perut.

"اجله": Yakni berakhir masa iddah. Yang dimaksud dengan kitab dalam ayat tersebut adalah kewajiban yang ditetapkan Allah kepada perempuan yang menjalani masa iddah seperti tinggal di tempat selama masa iddah. Makna firman-Nya, "Sebelum habis masa iddahnya." Yakni sebelum masa iddahnya berakhir.

"فاحذروه": Yakni takutlah pada hukuman-Nya dan jangan melanggar perintah- Nya. Ungkapan ini mengandung makna ancaman dan peringatan.

"حليم": Dia menangguhkan hukuman sehingga Dia tidak menyegerakannya. Di antara ketentuan Allah Swt. yang berlaku bahwa Dia menangguhkan namun Dia tidak mengabaikan

"الموسع": Yang berada dalam kondisi lapang karena kekayaannya. Dari kata músi'. Dalam ungkapan Arab dicontohkan, ausaa ar-rajulu yakni orang itu banyak hartanya.

"المقتر": Yang berada dalam kesulitan karena kefakirannya. Dalam ungkapan Arab dicontohkan, aqtara ar-Rajulu yakni orang itu fakir. Aqtara 'ala iyalihi wa gattara, yakni ia mempersempit pemberian nafkah kepada keluarganya.

"تمسوهن": Dari kata massa yakni menahan sesuatu dengan tangan. Serupa dengan kata misas dan masis.

Ar-Raghib mengatakan massa seperti lamisa (sentuh). Demikian pula sebutan bagi sesuatu yang ditangkap dengan indera peraba. Sentuhan digunakan sebagai kiasan dari persetubuhan. Dalam ungkapan Arab dicontohkan, massaha dan massaha, ia menyentuhnya. Allah Swt. berfirman, "Tidak ada seorang manusia pun yang menyentuhku."

"فريضة": Dari kata faridhah yang asalnya berarti sesuatu yang diwajibkan Allah kepada hamba. Yang dimaksudkan di sini adalah mahar karena mahar ditetapkan atas perintah Allah.

"يعفون": Maksudnya membiarkan dan memaklumi, yakni perempuan menggugurkan hak maharnya.[4]

 

c. Makna Global

Allah Swt. menjelaskan ketentuan khitbah kepada perempuan-perempuan yang menjalani masa iddah setelah suami mereka wafat. Allah Swt. berfirman yang maknanya tidak ada hambatan tidak pula dosa bagimu, wahai para lelaki, untuk menunjukkan kesukaanmu untuk menikah dengan perempuan-perempuan yang menjalani masa iddah, melalui isyarat mata bukan dengan pernyataan terbuka. Sesungguhnya Allah Swt. mengetahui kecondongan hati kepada mereka yang kamu sembunyikan di hatimu, dan hasrat untuk menikah dengan mereka, namun Allah tidak menghukummu atas itu. Akan tetapi kamu tidak diperkenankan untuk mengungkapkan hasrat ini secara terbuka sementara mereka masih dalam masa iddah, kecuali melalui sindiran dan dengan cara yang baik, dengan syarat tidak ada perkataan jorok atau kata-kata yang tidak pantas. Janganlah kamu mengukuhkan niatmu untuk mengadakan akad nikah sebelum masa iddah berakhir. Dan ketahuilah bahwa Allah memantau rahasia-rahasia dan apa-apa yang kamu sembunyikan serta memperhitungkan tindakanmu itu.

Kemudian Allah Swt. menyebutkan ketentuan bagi perempuan yang dijatuhi talak sebelum mendapatkan mahar dan sebelum terjadi hubungan intim. Allah tidak melarang talak sebelum suami istri hidup serumah, agar tidak ada seorang pun yang menduga bahwa talak pada kondisi ini dilarang. Allah memerintahkan pembayaran mut'ah kepada mereka untuk melipur hati mereka sesuai dengan batas kemampuan laki-laki menurut tingkat kecukupan dan kekurangannya, serta menetapkan ini sebagai bentuk ihsan untuk menghapus kesepian akibat talak. Adapun jika talak terjadi sebelum hubungan intim sementara mahar sudah disebutkan, maka perempuan yang ditalak berhak mendapatkan setengah mahar yang ditetapkan, kecuali bila ia menggugurkan haknya, atau suami menyerahkan mahar penuh kepadanya, atau walinya menggugurkan haknya bila ia masih kecil.

Kemudian Allah Swt. menutup ayat dengan mengingatkan agar tidak ada yang melupakan kasih sayang, ihsan, dan kebaikan di antara suami istri. Jika talak terjadi dengan sebab-sebab yang gbersifat darurat dan memaksa, maka semestinya tidak boleh menjadi faktor yang memutus ikatan kekeluargaan dan hubungan kekerabatan.[5]

 

d. Sebab Turun Ayat

Al-Khazin berkata dalam tafsirnya: Ayat kedua diturunkan tentang seorang laki-laki Anshar yang mengawini seorang perempuan Bani Hanifah dengan tidak menyebutkan maharnya, lalu dicerainya sebelum dicampuri. Begitulah, lalu turun ayat ketiga. Sesudah itu lalu Rasulullah Saw. bersabda kepada laki-laki tersebut: "Berilah dia mutah sekalipun dengan kopiahmu itu."[6]

 

e. Ragam Qira'ah

1. Jumhur membacanya mâ lam tamassûhunna. Hamzah dan Al-Kisa'i membacanya tumassûhunna, dengan alif dan dhammah pada ta` di dua tempat di sini dan dalam surah Al-Ahzab. Ini merupakan pola kata mufäalah seperti mubasyarah dan mujâma'ah.

2. Jumhur membacanya 'alal-mûsi'i qadaruhu, marfü' pada qadaruhu. Ibnu Katsir dan Nafi' membacanya qadruhu, dengan sukun pada dal.

3. Jumhur membacanya wa an ta'fû aqrabu lit-taqwa. Dibaca juga dengan ya'; wa an ya'fû 510

 

f. Ragam I'rab

Pertama, firman Allah Swt.; wa lakin lå tuwa'idûhunna sirran. Kata läkin sebagai haruf istidråk. Sementara mustadraknya dibuang dengan menyimpan kalimat "Alimallahu annakum satadzkurúnahunna fadzkurûhunna walâkin lâ tuwa'idûhunna." Kata sirran sebagai maf ül bih (objek) karena ia mengandung pengertian nikah. Kemungkinan juga posisinya dijadikan sebagai hal dengan mengira-ngirakan makna mustakhfina, sementara maf al-nya dibuang.

Kedua, Firman Allah, "Wala ta'zimů 'uqdatannikâhi" bentuk nashab dengan membuang huruf jar.

Ketiga, Firman Allah, "Ma lam tamussûhunna". Må mashdariyah dengan membuang zaman yaitu fi zamani tarki massihinna. Ada yang berpendapat, Má disini adalah Ma Syarthiyyah.

Keempat, Firman Allah "Fanishfu må farradhtum" menjadi khabar dengan mubtada yang dibuang. Jika ditampakkan maka berbunyi: Falwajibu nishfu mà farradhtum atau fa 'alaikum nishfu må farradhtum. Ma isim maushul dengan makna alladzi.

 

g. Kelembutan Tafsir

1. Al-Qur'an membolehkan meminang perempuan dalam 'iddah dengan cara menggunakan bahasa sindiran. Seperti ucapan: Kamu perempuan yang cantik: kamu shalehah, engkau; kamu dermawan dan sebagainya, yang diucapkan di hadapannya.

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Sulaiman dari bibinya (Sukainah binti Handhalah), ia berkata: "Abu Ja'far, Muhammad bin Ali, pernah masuk ke rumahku, di saat aku masih dalam iddah, lalu ia berkata: 'Aku ini orang yang engkau tahu betul akan kekerabatanku dengan Rasulullah Saw. dan hak kakekku, Ali, serta jejakku dalam Islam, lalu aku berkata: 'Semoga Allah mengampunimu. Hai Abu Ja'far, apakah engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam iddah dan (apakah) engkau mau disiksa?' Abu Ja'far menjawab: 'Apa aku sudah berbuat? Aku hanya memberitahumu akan kekerabatanku dengan Rasulullah Saw, serta kedudukanku (dalam keluarga). Bukankah Rasulullah Saw. juga pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika Abu Salamah meninggal dunia, dan Rasulullah Saw, sendiri yang terus menerus menyebut-nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di sisi Allah, sedangkan dia bertanggung jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar melekat pada dirinya. namun yang demikian itu tidak dinamakan meminang."

2. Az-Zamakhsyari berkata: yang dimaksud dengan "Rahasia" dalam ayat di atas. adalah bentuk sindiran dari nikah, sedangkan nikah itu sendiri asal artinya ialah: bersetubuh. Itulah yang dirahasiakan (dalam perkawinan) itu. Seperti kata al-A'sya:

Janganlah engkau mendekat seorang gadis

Sesungguhnya rahasianya itu haram atasmu

Kawinilah dia atau engkau sama sekali menjauh.

Kemudian kata ini dipergunakan untuk arti "kawin" yang berarti 'akad, karena

akad itu suatu "sebab terjadinya perkawinan,

3. Penyebutan kata "azam" dalam ayat "Walata'zimi uqdatannikahi" adalah me- miliki makna mubalaghah dalam suatu larangan untuk melakukan perkawinan pada masa iddah, karena azam untuk perbuatan tersebut adalah merupakan muqaddimahnya. Kalau azam saja sudah dilarang, maka mengerjakan lebih dilarang.

4. Allah mempergunakan kata "menyentuh" untuk arti bercampur, adalah suatu kinayah yang halus yang biasa dipergunakan Al-Qur'an.

Abu Muslim berkata: Kinayah yang dipergunakan Allah Swt. untuk bercampur dengan menyentuh itu, sebagai didikan buat manusia agar dalam percakapannya sehari-hari selalu memilih kata-kata yang baik.

5. Khithab dalam firman Allah: "Bahwa memaafkan itu jalan terdekat menuju ketakwaan" dan "Jangan kamu lupakan kelebihan di antara kamu" itu tertuju kepada pria dan wanita, yang disampaikan secara umum.

Ar-Razi berkata: "Apabila pria dan wanita hendak disebut secara bersamaan, maka pada umumnya cukup dengan menyebutkan pria. Sebab pria menjadi inti, sementara wanita sebagai pelengkap atau cabang. Misalnya kamu mengatakan: 'Ada orang yang (laki-laki) berdiri, sementara yang kamu maksud adalah perempuan'."

6. Hikmah diwajibkannya memberi biaya hidup kepada istri yang ditalak adalah untuk menghilangkan perasaan sedih karena talak. Ibnu Abbas berkata: "Apabila suami orang kaya, maka bentuk biaya hidup berupa pelayan. Dan apabila miskin, bentuk biaya hidup yang diberikan berupa tiga helai baju."

7. Diriwayatkan, bahwa Al-Hasan bin Ali, pernah memberikan mut'ah sebanyak 10.000, lalu perempuan itu berkata: "Mutah ini terlalu kecil, dari seorang kekasih yang menceraikan." Adapun sebab dicerainya istrinya Aisyah al-Khats'amiyah itu ialah bahwa ketika Ali terbunuh dan Al- Hasan dibai'at sebagai khalifah, Aisyah mengatakan: "Rupanya kekuasaan (khalifah) ini menyenangkan engkau, ya Amirul Mukminin!" Al-Hasan menjawab: "Ali terbunuh, sedang engkau senang dengan kedudukan ini? Pergi, engkau ku talak tiga!" Begitulah, lalu Aisyah berselimut dengan jilbabnya, dan ia tetap menanti hingga habis masa iddahnya. Lalu oleh al-Hasan dikirimnya mutah sebanyak 10.000, serta sisa ma'nar (yang belum terbayar). Aisyah berkomentar: "Suatu pemberian (mutah) yang terlalu kecil, dari seorang kekasih yang menceraikan." Setelah utusan itu menyampaikan hal itu kepada Hasan, maka Hasan menangis, seraya berkata: "Seandainya aku tidak menjatuhkan talak ba'in, niscaya kurujuk dia."[7]

 

h. Kandungan Hukum

Pertama, Apa hukum meminang perempuan? Terkait meminang perempuan, ada tiga hukum, yaitu:

a. Perempuan yang boleh dipinang dengan terang-terangan dan dengan sindiran, yaitu perempuan yang masih sendirian dan bukan dalam masa 'iddah. Sebab, manakala dia boleh dinikahi, tentu juga boleh dipinang.

b. Perempuan yang tidak boleh dipinang, baik dengan terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Yaitu: Perempuan yang masih mempunyai suami, sebab meminang perempuan dalam keadaan demikian, berarti merusak hubungan suami istri dan hukumnya haram. Begitu juga perempuan yang ditalak raj'i yang masih dalam iddah. Dia ini dihukumi sebagai perempuan yang masih dalam perkawinan.

c. Perempuan yang boleh dipinang dengan cara sindiran, tidak boleh dengan terang-terangan. Yaitu: Perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam 'iddah, seperti yang diisyaratkan al- Qur'an: "Dan tidak ada dosa atas kamu meminang perempuan itu dengan sindiran." Termasuk perempuan yang ditalaktiga.

Dalil bagi terlarangnya peminangan ini adalah apa yang dikatakan Imam Syafi'i: "Dikhususkannya dengan tidak berdosa peminangan secara sindiran itu, menunjukkan bahwa peminangan dengan terang-terangan adalah sebaliknya Pernyataan ini merupakan bentuk dari mafhúm mukholafah

Kedua, Apakah pernikahan yang dilakukan pada masa iddah sah atau tidak?

Allah mengharamkan pernikahan selama dalam iddah dan mewajibkannya agar menanti, baik dalam iddah talak ataupun meninggal. Sebagai landasannya adalah firman Allah: "Dan jangan kamu berazam untuk mengadakan aqad nikah, sehingga habis masa iddahnya." Ayat ini menunjukkan haramnya mengadakan akad perkawinan dalam iddah. 'Ulama sepakat bahwa aqadnya itu fasid, dan wajib difasakh karena larangan Allah tersebut. Dan apabila aqad itu dilangsungkan lalu hidup berumah tangga, pernikahannya itu harus difasakh, dan perempuan itu haram bagi suaminya untuk selama-lamanya. Demikian menurut Imam Malik dan Ahmad. Alasannya ialah keputusan Umar. Karena laki-laki itu menganggap halal sesuatu yang tidak halal, karena itu dia harus dihukum dengan diharamkannya kawin dengan perempuan tersebut. Tak ubahnya pembunuh yang harus dihukum dengan diharamkannya mendapatkan warisan (dari harta si terbunuh).

Abu Hanifah dan Syafi'i berkata: "Perkawinannya itu difasakh, tetapi kalau perempuan itu sudah keluar dari masa iddahnya, maka laki-laki yang mengawininya tadi dinilai sebagai "peminang", dan tidak diharamkan untuk kawin dengan perempuan tersebut untuk selamanya. Karena pada asalnya perempuan tersebut tidak haram atasnya, dengan dasar Al-Qur'an dan Sunnah serta ljma! Haram untuk selamanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini." Mereka juga berkata: "Zina-misalnya adalah lebih besar dosanya daripada akad dalam iddah. Kalau zina saja tidak dapat menjadikan haramnya perkawinan untuk selamanya, maka percam- puran karena syubhat lebih tidak menunjukkan haramnya perkawinan. Apa yang diriwayatkan dari Umar tadi, sudah ada penegasan, bahwa ia telah menarik kembali pendapatnya itu.

Keputusan Umar, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mubarak dengan sanadnya dari Masruq adalah: "Sampailah berita kepada Umar, bahwa ada seorang wanita Quraisy yang dikawini seorang laki-laki dari Tsaqif, padahal wanita tersebut masih dalam iddah. Lalu Umar mengirim utusan kepada suami istri itu untuk menceraikannya serta menghukumnya. Dalam hukumannya itu, Umar mengatakan: 'Si laki-laki itu tidak boleh kawin dengan perempuan tersebut untuk selama-lamanya dan menetapkan maharnya untuk baitul mal. Berita itu tersiar di kalangan masyarakat, bahkan sampai juga kepada Ali karramallahu wajhah. Maka Ali berkata: 'Semoga Allah memberi rahmat kepada Amiral Mukminun! Apa gerangan halnya mahar dan baitul mal, itu adalah karena tidak tahu. Keduanya harus dikembalikan kepada sunnah. Lalu Ali ditanya: 'Kalau begitu apa pendapatmu tentang mahar dan baitul mal itu?' Ali menjawab: 'Perempuan tersebut tetap berhak mendapat mahar, karena telah dihalalkan kemaluannya, tetapi keduanya harus diceraikan dan tidak usah didera. Iddahnya disempurnakan dari suami pertama, kemudian beriddah dari suami yang kedua dengan iddah yang sempurna, kemudian kalau dia mau, dia boleh meminangnya.

Setelah pendapat Ali itu sampai kepada Umar, lalu Umar berkata: 'Hai manusia! Kembalikanlah semua yang tidak tahu itu kepada sunnah!"

Ketiga, Bagaimana hukum perempuan yang ditalak sebelum bersetubuh? Beberapa ayat sudah menjelaskan tentang hukum perempuan yang ditalak, diantaranya:

a. Perempuan yang sudah disetubuhi dan sudah ditentukan maharnya.

b. Perempuan yang sudah disetubuhi dan belum ditentukan maharnya.

c. Perempuan yang belum disetubuhi tetapi sudah ditentukan maharnya.

d. Perempuan yang belum disetubuhi tetapi belum ditentukan maharnya.

Pertama, Iddahnya selama tiga quru' dan maharnya tidak boleh diminta oleh suami Sebagai dasarnya adalah firman Allah: "Dan perempuan-perempuan yang ditalak itu hendaklah menunggu diri-diri mereka selama tiga quru'." Dan ayat "Dan tidak halal bagi kamu menarik kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka." (QS Al-Baqarah [2]: 228-229).

Kedua, Tidak ada iddahnya dan tidak berhak menerima mahar, tetapi berhak mendapatkan pemenuhan kebutuan pokok. Sebagai dasarnya adalah firman Allah: "Tidak ada mahar atas kamu, jika kamu menceraikan perempuan-perempuan yang belum kamu campuri mereka itu atau belum kamu tentukan maharnya, tetapi berilah mereka mutah." (QS. al-Baqarah [2]: 236). Dan "... Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu campuri mereka itu, maka tidak ada hak kamu atas mereka dari iddah yang perlu kamu hitung" (QS. al-Ahzab [33]: 49).

Ketiga, Tidak ada iddahnya tetapi mendapat separuh mahar. Dasarnya ialah firman Allah: "Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu campuri mereka itu padahal sudah kamu tentukan maharnya, maka mereka berhak mendapatkan separuh dari (mahar) yang telah kamu tentukan itu." (QS. Al-Baqarah [2]: 237).

Keempat, Berhak mendapat mahar yang sepadan. Sebagai dasarnya adalah, firman Allah: "... Dan istri-istrimu yang telah kamu nikmati itu, berilah mereka mahar..." (QS. An-Nisa' [4]: 24). Juga berdasarkan pada ijma' para ulama yang menyatakan bahwa perempuan yang sudah disetubuhi suaminya karena suatu syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar yang sepadan. Sedang perempuan yang sudah disetubuhi dengan pernikahan yang sah, dia lebih berhak, berdasarkan hukum ini.[8]

Keempat, Melihat Perempuan yang Dipinang?[9]

Apabila seorang laki-laki telah menjatuhkan pilihan pada seorang perempuan dan berniat untuk menikahinya, maka ia wajib melihatnya. la dibolehkan melihatnya pada paras yang boleh dilihat menurut syariat. Para ulama juga sepakat bahwa melihat perempuan yang hendak dipinang hukumnya adalah boleh. Akan tetapi, mereka berselisih paham mengenai bagian tubuh mana yang boleh dilihat. Mengenai hal ini terdapat lima pendapat:

Pendapat pertama, sebagian besar ulama berpendapat bahwa boleh hukumnya melihat kedua telapak tangan dan wajah, karena wajah mewakili kecantikan paras atau sebaliknya. Sedangkan kedua telapak tangan mewakili subur-tidaknya tubuh. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menambahkan, boleh melihat kedua kaki. Pendapat ini disepakati oleh Imam Asy-Syafi'i. Dalil yang digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah:

1. Firman Allah ta’ala

ولا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali apa yang (biasa) tampak darinya." (An-Nur: 31)

2. Pada dasarnya, melihat perempuan hukumnya haram. Akan tetapi, dibolehkan bilamana diperlukan. Maka, keharaman ini dibolehkan ketika terdapat hajat yang mengkhususkan.

3. Bahwa orang yang memperhatikan wajah seseorang dinamakan orang yang melihat kepadanya (nazhir ilaihi). Adapun orang yang melihat seseorang yang berpakaian dinamakan ra'in lahu (sekadar melihatnya).

Pendapat kedua, dibolehkan melihat anggota tubuh yang biasa tampak selain wajah, seperti lengan atau kaki. Dalam hal ini ada dua pendapat:

1. Tidak boleh melihat selain wajah, karena yang dibutuhkan hanyalah melihat wajah. Maka, melihat anggota tubuh lainnya tetap pada hukum asalnya, yaitu haram.

2. Boleh melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad membolehkan melihat wajah, tangan, atau anggota tubuh yang umum terlihat, berdasarkan kisah Umar bin Al-Khatthab ketika ia meminang Ummu Kultsum, puteri Ali bin Abi Thalib, Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam kitab- nya, dari Ibnu Uyainah dari Amr bin Dinar dari Abu Ja'far, ia menuturkan bahwa Umar meminang puteri Ali. Lalu Ali berkata, "la masih kecil." Kemudian dikatakan kepada Umar bahwa yang demikian itu karena sebenarnya Ali mengizinkan puterinya. Lalu, Umar mengajaknya berbicara. Kemudian Ali berkata, "Aku akan mengantarkannya kepadamu. Jika ia mau menerima, maka ia akan menjadi isterimu." Ketika Ali mengantarkan puterinya itu, Umar lalu mengangkat kainnya dan melihat betisnya. Maka berkatalah puteri Ali, Turunkanlah, seandainya engkau bukan Amirul Mukminin, niscaya akan aku patahkan lehermu!" Umar mengemukakan alasan menikahinya seraya mengatakan, "Tidaklah aku menikah karena dorongan nafsu yang ada pada diriku, melainkan karena aku mendengar Rasulllah bersabda, 'Setiap alasan dan nasab akan terputus pada Hari Kiamat, kecuali alasan dan nasabku. Oleh sebab itu, aku ingin antara aku dan Nabi Allah ada alasan dan nasab!"

 

Pendapat ketiga, boleh melihat seluruh anggota tubuh. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm dan madzhab Zhahiri (pengikut mazhab Dawud Az-Zhahini).

Siapa pun yang hendak menikahi seorang perempuan, maka ia boleh melihat dengan sembunyi-sembunyi, baik yang biasa terlihat ataupun yang tidak. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نَكَاحَهَا فَلْيَفْعَلْ

“Apabila salah seorang diantara kamu meminang, jika ia memungkinkan melihat sesuatu yang mendorongnya menikahinya, maka lakukanlah.” (H.R Abu Daud dan Ahmad).

Pendapat keempat, boleh melihat anggota tubuh yang berdaging.

Demikian pendapat Al-Auza'i, juga dikuatkan oleh Sayyid Sabiq, seraya mengemukakan bahwa hadits-hadits yang berhubungan dengan hal ini tidak menentukan apa saja yang boleh dilihat, melainkan melihat secara mutlak agar lelaki yang meminang memperoleh maksud dari melihat. Ini mengacu pada kisah Umar bin Al-Khatthab ketika ia meminang Ummi Kultsum, puteri Ali bin Abi Thalib.

Pendapat kelima, At-Thahawi mengemukakan bahwa sebagian ulama tidak membolehkan melihat wajah seorang perempuan kecuali suami atau mahramnya. Mereka berdalil dengan hadits Ali bin Abi Thalib secara marfu", "Hai Ali, sesungguhnya engkau memiliki simpanan kekayaan (bidadari) di surga dan engkau adalah pendampingnya. Maka, janganlah engkau mengikutkan pandangan (pertama) pada pandangan (kedua). Sebab, untukmu boleh yang pertama, tetapi bukan yang kedua (Ahmad dan Al-Haitsami)

Dari Jarir, ia menuturkan, "Aku bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Beliau bersabda, "Paling- kanlah pandanganmu."

Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang apa yang boleh dilihat, namun jelaslah bahwa syariat membolehkan untuk melihat perempuan yang akan dipinang, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits Nabi sebagai berikut:

1. Rasulullah berkata kepada Al-Mughirah, sementara ia telah meminang seorang perempuan:

الظُّرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤدَمَ بَيْنَكُمَا

"Lihatlah ia, karena yang demikian itu akan melanggengkan kasih sayang di antara kamu berdua." (Riwayat An-Nasa'i dan At-Tirmidzi)

2. Dari Jabir, ia berkata, "Rasulullah bersabda

خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُاذا خطب

إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

"Apabila salah seorang di antara kalian meminang, jika memungkin. kan melihat sesuatu yang mendorongnya menikahinya, maka lakukanlah." (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)

Maka, aku (Jabir) meminang seorang perempuan. Sebelumnya aku melihat perempuan tersebut secara sembunyi-sembunyi sampai melihat apa yang membuatku terdorong untuk menikahinya. Lalu aku pun menikahinya."

3. Hadits dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa ketika ia sedang bersama Nabi, ada seorang laki-laki mengatakan kepadanya bahwa ia hendak menikah dengan seorang perempuan Anshar. Maka, bersabdalah Rasulullah . "Apakah engkau sudah melihatnya?" la menjawab, "Belum." Lalu Rasulullah bersabda, "Pergilah dan lihatlah ia, karena sesungguhnya ada sesuatu di mata kaum Anshar."

4. Dalam hadits marfu' yang diriwayatkan dari Muhammad bin Salamah, dikatakan bahwa Nabi bersabda, "Jika terbetik di hati seseorang untuk meminang seorang gadis, maka bolehlah ia me- lihatnya."

5. Dan Abu Humaid juga diriwayatkan dalam hadits marfu", "Jika salah seorang di antara kalian hendak meminang seorang per- empuan, maka ia tidak disalahkan melihatnya selama untuk tujuan meminang, meskipun tanpa sepengetahuan perempuan itu."

6. Dan Jabir bin Abdullah, ia meriwayatkan hadits marfu", "Jika salah seorang dari kamu meminang seorang perempuan, dan ia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka laku- kanlah

7. Dalam hal ini, Imam Al-Bukhari berdalil dengan hadits dari Aisyah "Rasulullah bersabda, 'Engkau diperlihatkan kepadaku dalam mimpi, malaikat mendatangkanmu dengan mengenakan kain sutra Lalu ia berkata kepadaku. Inilah isterimu. Lalu aku membuka kain yang menutup wajahmu. Ternyata engkau adalah perempuan itu 'Lalu aku berkata, jika ini dari sisi Allah, maka terjadilah itu, "

 

Kelima, Siapa yang Boleh Dikhitbah?

Seorang wanita tidak boleh dikhitbah kecuali terpenuhi dua syarat:

1. Tidak ada halangan secara Syariat yang mencegahnya untuk dinikahi pada saat itu.

2. Tidak ada orang lain yang telah mengkhitbahnya secara Syariat meminang Wanita yang Sedang dalam Masa Iddah

Haram hukumnya mengkhitbah wanita yang sedang dalam masa iddah, baik karena iddah ditinggal mati oleh suaminya atau iddah karena talak (dicerai) suaminya, baik Talak Raj'i maupun Talak Ba'in. Jika wanita yang sedang dalam masa iddah karena dicerai suaminya dengan Talak Raji, haram hukumnya untuk meminangnya; karena dia masih dalam naungan suaminya, dan bagi si suami masih punya hak untuk merujuknya kembali, pada waktu yang dikehendaki (masih dalam masa iddah). Dan jika iddah itu karena Talak Ba'in, haram hukumnya mengkhitbah dengan cara terang-terangan, karena hak suami masih tergantung padanya, dan baginya hak untuk kembali setelah adanya akad baru. Jika melamar dengan terang-terangan, sang mantan suami akan merasa sakit hati. Para ulama berbeda pendapat tentang ta'ridh untuk mengkhitbahnya, dan pendapat benar adalah diperbolehkannya. Dan jika wanita dalam masa iddah yang karena ditinggal mati suaminya, maka boleh menyatakan khitbah padanya pada masa iddah, tetapi tidak terang-terangan. Maksud ta'ridh (menyindir) adalah seseorang yang menyampaikan sesuatu secara tersirat, tidak mengungkapnya secara jelas. Misalnya seperti perkataan, "Sesungguhnya aku ingin menikah" atau "Sungguh senangnya kalau Allah memudahkanku mendapati seorang wanita shalihah." Jika terus terang mengkhitbah dalam masa iddah, maka tidak boleh melakukan pernikahan hingga masa iddahnya selesai. Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Menurut Imam Malik keduanya dipisah baik sudah digauli maupun belum. Menurut Imam Asy-Syafi'i akadnya sah meskipun ia berdosa karena melanggar larangan dengan mengkhitbah secara terang-terangan sebagaimana yang telah disebutkan karena adanya perbedaan persepsi. Dan mereka sepakat untuk memisahkan keduanya jika terjadi akad (pernikahan) pada masa iddah dan menggaulinya. Dan apakah setelah itu halal atau tidak? Menurut Malik, Al-Laits dan Al-Auza'i tidak halal baginya menikahi wanita tersebut sesudahnya. Menurut jumhur ulama halal baginya menikahi perempuan tersebut setelah masa iddahnya habis, jika ia ingin menikahinya

 

Keenam, Meminang Wanita di Atas Pinangan Orang Lain?

Haram hukumnya bagi seorang laki-laki meminang wanita yang sedang dipinang laki-laki lain. Karena hal itu akan merebut hak peminang pertama dan dapat menyakiti hatinya. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah bersabda,

الْمُؤْمِنُ أَخو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى

خطبة أحيه حتى يذر.

"Seorang Mukmin adalah saudara bagi Mukmin yang lain, maka tidak halal baginya membeli sesuatu yang sedang dalam transaksi saudaranya, dan juga tidak halal baginya meminang pinangan saudaranya hingga (pinangan itu) dilepaskan." [HR. Muslim).

 

Ketujuh, Hukum Melihat Pinangan

Melihat wanita yang dipinang adalah sesuatu yang dianjurkan oleh Syariat Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah a bersabda, "Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita, apabila dia mampu untuk melihat kepadanya hingga membuatnya tertarik untuk menikahinya maka lakukanlah Jabir berkata, "Maka aku meminang seorang wanita dari Bani Salimah, aku bersembunyi hingga aku dapat melihat darinya sebagian apa yang mendorongku untuk menikahinya." (HR. Abu Dawud).

 

Kedelapan, Bagian Anggota Tubuh yang Boleh Dilihat Saat Meminang?

Jumhur ulama berpendapat bahwa yang diperbolehkan dalam proses meminang adalah seorang laki-laki melihat wajah wanita yang dipinang dan kedua telapak tangannya, tidak boleh bagian yang lain. Karena dia dapat melihat kecantikannya dengan melihat wajahnya, dan dengan melihat kedua telapak tangannya dapat mengetahui kondisi kesuburannya. Menurut Dawud Azh-Zhahiri diperbolehkan melihat seluruh anggota badannya. Dan menurut Al-Auza'i boleh melihat bagian-bagian anggota tubuh yang berdaging. Dan hadits-hadits yang ada tidak membatasi tempat- tempat yang dilihat akan tetapi dimutlakkan agar melihatnya hingga dapat tercapai apa yang dimaksud dengan melihatnya. Dan jika ia melihat dan tidak terkagum (tertarik), hendaknya diam dan tidak mengatakan sesuatu, sehingga tidak menyakiti hatinya (perempuan) atas apa yang diucapkannya, bisa jadi sesuatu yang tidak ia kagumi darinya tetapi ada orang lain yang mengaguminya.

Kesembilan, Wanita Melihat Laki-laki yang Meminangnya?

Bagi wanita boleh melihat laki-laki yang meminangnya karena kekagumannya seperti apa yang dikagumi atasnya. Umar berkata, "Janganlah kalian menikahkan anak-anak perempuan kalian dengan laki- laki yang sangat jelek rupanya, Sebab, apa yang membuat seorang laki laki tertarik kepada perempuan, juga sama dengan apa yang perempuan tertarik kepada laki-laki. membuat

Kesepuluh, Mengenal Akhlak Calon Pasangan?

Sifat dan kepribadian calon pasangan bisa dikenali dengan mengenal sifat-sifatnya, meminta keterangan, dan menyelidiki dari orang-orang yang berhubungan dengan keduanya, seperti tetangga, atau orang tertentu yang dapat dipercaya dari kerabatnya seperti ibu, saudara perempuan. Nabi mengutus Ummu Sulaim kepada seorang wanita dan berkata, "Lihatlah urat ketingnya (urat di atas tumit), dan ciumlah dua sisi lehernya." (HR. Ahmad, Al-Hakim, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi)

 

Kesebelas, Bahaya Khalwat (Berdua-duaan) dengan Wanita Pinangan?

Haram berkhalwat dengan wanita yang telah dipinang, karena statusnya haram bagi peminangnya sebelum dilakukan akad pernikahan. Syariat hanya membolehkan untuk melihat saja (saat meminang), sedangkan yang lainnya tetap haram. Tetapi jika ditemani oleh mahram. boleh khalwat agar tercegah dari perbuatan maksiat dengan kehadiran mahram itu.

Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يَحْلُونُ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَم

منها فإن تالتهما الشيطان

"Barangsiapa yang beriman kepada Hari Akhir janganlah berkhalwat dengan wanita, kecuali ada bersamanya seorang mahram, karena (jika berdua saja) maka yang ketiganya adalah setan." [HR. Al-Bukhari].

Keduabelas, Membatalkan Pinangan dan Pengaruhnya?

Sesungguhnya khitbah hanyalah sekadar janji untuk melakukan pernikahan; bukan akad yang mengikat; dan membatalkan pinangan adalah hak dari kedua belah pihak yang saling berjanji, dan Allah tidak akan menghukum bagi yang menyalahi janji dengan hukuman materi, sebagai balasan untuk menebus sumpahnya; meskipun perbuatan itu dianggap sebagai akhlak buruk dan dianggap sebagai ciri-ciri dari orang munafik Kecuali jika ada hal yang sangat darurat yang mengharuskan (terjadi) pemutusan pinangan. Dalam riwayat shahih dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara bohong, jika berjanji ingkar, dan jika diberi amanah berkhianat." (Muttafaq Alaih).

Mahar yang diberikan oleh peminang boleh diminta kembali, karena mahar adalah pemberian yang diberikan sebagai imbalan atas perkawinan dan sebagai gantinya. Maka, selagi tidak ada perkawinan tidak ada hak atas mahar; dan wajib dikembalikan kepada pemiliknya karena harta tersebut murni milik-nya. Adapun hadiah hukumnya seperti halnya hibah Menurut pendapat yang kuat bahwa hibah tidak boleh diminta kembali jika diberikan semata-mata sebagai pemberian, bukan sebagai ganti apa pun Dan jika memberikan sesuatu sebagai ganti atas pemberiannya tersebut akan memperoleh pahala atasnya, dan jika yang diberi tidak menerimanya, maka boleh meminta kembali pemberiannya itu. Bagi si pemberi punya hak atas pemberiannya, karena pemberian itu untuk tujuan sebagai ganti; maka jika tidak terjadi perkawinan, hak kembali kepada yang memberikan.

Pendapat Ulama

Menurut madzhab Hanafi bahwa apa yang telah dihadiahkan oleh si peminang kepada wanita pinangannya, dia berhak untuk memintanya kembali jika dia berhak memintanya kembali jika hadiah pemberiannya tersebut tetap dalam bentuknya dan tidak berubah. Namun jika bentuknya berubah dari kondisinya, maka si peminang tidak berhak meminta kembali atas apa yang telah diberikan atau meminta gantinya.

Menurut madzhab Maliki, dalam masalah ini ada perinciannya dilihat siapa yang membatalkan, apakah dari pihak laki-laki atau perempuan. Jika pembatalan dari pihak laki-laki, maka baginya tidak ada hak meminta kembali atas apa yang telah diberikan. Ada pun jika yang membatalkan pihak perempuan, maka si perempuan harus mengembalikan apa yang telah dihadiahkan kepadanya. Baik itu kondisinya masih tetap seperti semula atau telah usang, maka dikembalikan sebagai gantinya. Kecuali jika diketahui atau disyaratkan, maka wajib melakukannya.

Sedangkan menurut penganut madzhab Asy-Syafi'i dikembalikan hadiahnya, baik masih utuh atau sudah rusak. Jika masih utuh dikembalikan barang aslinya, dan jika sudah rusak dikembalikan sesuai dengan harganya, dan ini adalah madzhab yang lebih dekat dengan pendapat kami.[10]

Ketigabelas, Hukum Cincin Pertunangan

Akhir-akhir ini, orang-orang biasa memberikan cincin pertunangan kepada wanita pinangannya. Ia memegang tangan wanita itu — padahal ia masih asing baginya-lalu memakaikan cincin itu di jarinya. Begitu pula sebaliknya, si wanita memakaikan cincin itu di jari peminangnya, bahkan cincin ini kadang-kadang terbuat dari emas! Biasanya prosesi ini berlangsung dalam sebuah pesta yang meriah, di mana lelaki dan wanita bercampur-baur. Ini semua sungguh kemungkaran yang nyata. Di dalam Islam tak ada khithbah dengan proses seperti itu, sebab ini adalah tradisi asing yang dibawa oleh nonmuslim. Ada yang berpendapat bahwa ini adalah tradisi Fir'aun. Ada juga yang bilang ini tradisi kaum Nasrani. Yang penting, bertukar cincin pertunangan adalah tradisi luar yang masuk ke tengah komunitas muslim. Melakukan hal ini sama dengan mengikuti tradisi dan sikap kaum kafir, sebab Nabi s.a.w. bersabda, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka."

Tradisi bertukar cincin ini haram hukumnya, baik cincinnya terbuat dari emas ataupun perak. Bahkan keharamannya lebih besar jika cincinnya terbuat dari emas, wallahu a'lam.

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, "Di antara bid'ah yang masuk dari luar dan tradisi buruk yang datang dari negeri kaum kafir dan berlaku di negeri kita adalah tradisi bertukar cincin. Yakni seorang peminang me- makaikan cincin di jari pinangannya, sebagai bukti bahwa wanita itu adalah miliknya, dan ia adalah milik wanita itu.

Dikisahkan bahwa sebenarnya tradisi ini menggambarkan akidah trinitas yang ada dalam agama Nasrani. Saat mempelai pria Nasrani memakaikan cincin di ibu jari kiri istrinya, ia berkata, 'Atas nama Bapa. Kemudian ia memindahkannya ke jari telunjuknya sambil berkata, 'Atas nama Putra. Setelah itu, ia memasukkannya ke jari tengahnya seraya berkata, 'Atas nama Ruh Kudus.' Dan ketika membaca, 'Amin,' ia memasangkan cincinnya di jari manis pasangannya.

Ada satu pertanyaan yang ditujukan kepada redaksi majalah The Woman yang terbit di London, edisi 19 Maret 1960, hal. 8, yang isinya: "Mengapa cincin pernikahan dipasang di jari manis tangan kiri?

Angela Talbott, salah satu staf redaksinya menjawab pertanyaan ini dengan menulis, "Di jari manis tangan kiri ini ada satu syaraf yang ber- hubungan langsung dengan jantung. Asal-muasal lain dari tradisi ini adalah, saat mempelai pria memasukkan cincin di ibu jari kiri istrinya, ia mengucapkan, 'Atas nama Bapa. Kemudian sambil memasukkannya di jari telunjuknya, ia berkata, 'Atas nama Putra. Dan saat memasangnya di jari tengahnya, ia berkata, 'Atas nama Ruh Kudus. Terakhir, ia memasangkannya di jari manis istrinya hingga tetap di sana seraya mengucapkan, 'Amin'"

Kepada Syaikh Ibnu Baz diajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut: "Apa hukum memakai cincin pertunangan di tangan kanan peminang dan tangan kiri orang yang sudah menikah, sedangkan cincin ini tidak terbuat dari emas?"

Syaikh menjawab, "Kami tidak menemukan dasarnya dalam agama. Oleh karena itu, sebaiknya hal ini ditinggalkan saja, baik cincin itu terbuat dari perak ataupun yang lainnya. Akan tetapi, jika cincin itu terbuat dari emas, seorang lelaki haram memakainya karena Rasulullah melarang kaum lelaki mengenakan cincin emas."

Syaikh Ibnu Utsaimin juga pernah ditanya tentang hukum memakai cincin pertunangan. Jawaban beliau adalah, "Aku berpendapat bahwa hukum memakai cincin pertunangan ini paling sedikit adalah makruh, sebab ini adalah tradisi yang diambil dari nonmuslim. Yang penting, setiap muslim harus menjauhkan diri dari tradisi nonmuslim dalam hal-hal demikian. Jika hal ini diikuti keyakinan bahwa cincin pertunangan dapat memperkuat hubungan suami istri, sebagaimana diyakini orang-orang, hukumnya lebih berat lagi karena masalah cincin ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan soal hubungan suami istri. Anda kadang-kadang melihat sendiri, kendati kedua suami istri mengenakan cincin pernikahan atau pertunangan, mereka masih bisa berpisah dan bercerai. Sebaliknya, hal ini kadang-kadang tidak terjadi pada orang-orang yang tidak mengenakan cincin pertunangan atau pernikahan. Banyak sekali mereka yang tidak mengenakannya, tetapi pernikahan mereka langgeng dan kehidupan mereka tetap harmonis bersama pasangannya masing-masing

Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah berkata, "Memakai emas bagi kaum lelaki, dalam bentuk cincin atau yang lain, hukumnya haram karena Nabi s.a.w. telah mengharamkan emas bagi kaum lelaki umat ini. Beliau pernah melihat seorang lelaki mengenakan cincin emas, lalu beliau melepasnya dari tangannya. Beliau bersabda, 'Seseorang dari kalian sengaja mengambil sepotong bara api neraka, lalu menaruhnya di jari tangannya.

Jelasnya, seorang lelaki muslim tidak diperbolehkan memakai emas. Adapun cincin yang terbuat dari bahan selain emas, misalnya dari perak dan barang tambang lainnya, diperbolehkan, walaupun terbuat dari barang tambang yang mahal harganya.

Cincin pernikahan bukanlah tradisi kaum Muslimin. Jika saat memakai- nya diikuti keyakinan bahwa cincin ini dapat menjalin cinta dan kasih sayang antara suami istri, sedangkan melepasnya dapat memutus hubungan ini, berarti sudah termasuk syirik. Ini tergolong keyakinan orang-orang zaman Jahiliyah. Karena itu, mengenakan cincin pernikahan tidak diperbolehkan, dengan dasar poin-poin berikut:

Pertama, praktik ini merupakan tradisi nonmuslim yang tidak baik sama sekali, dan bukan termasuk tradisi kaum Muslimin.

Kedua, jika saat memakainya diikuti keyakinan bahwa cincin itu dapat memengaruhi hubungan suami istri, ini termasuk kemusyrikan. Tak ada daya dan upaya melainkan dengan Allah.[11]

Keempatbelas, Hukum foto pre wedding sebelum akad?

Belum nikah, berarti seorang wanita belum halal bagi laki-laki. Bukan hanya tidak boleh halal hubungan intim, namun segala hal yang menuju zina pun diharamkan. Termasuk yang menyebar luas di kalangan kaum muslimin saat ini adalah foto pre wedding. Foto seperti ini tidak dibolehkan karena status pasangan tersebut belum sah. Sehingga bersentuhan, berdua-duaan, saling berhias diri satu sama lain masih haram.

Beberapa Kesalahan dalam Foto Pre Wedding

1. Ikhtilat dan Kholwat

Walau memakai jilbab saat foto pre wedding, tetap saja tidak boleh. Karena Islam melarang berdua-duaan antara pasangan yang belum halal, disebut kholwat. Islam juga melarang ikhtilat, yaitu campur baur antara laki-laki dan perempuan.

Dari 'Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

لا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا وَمَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

"Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin." (HR. Ahmad 1: 18. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Dari Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ألا لا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيْبٍ إِلا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ

"Ketahuilah! Seorang laki-laki bukan muhrim tidak boleh bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah, atau ada muhrimnya." (HR. Muslim no. 2171)

2. Membuka aurat

Ada juga yang sampai membuka aurat yang haram untuk dilihat. Seperti ini pun tidak dibolehkan bahkan termasuk dosa besar.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءً كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاتُ مَائِلَاتُ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

"Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian." (HR. Muslim no. 2128)

Dalam hadits di atas disebutkan beberapa sifat wanita yang diancam tidak mencium bau surga di mana disebutkan,

وَنِسَاءً كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلات رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ

Yaitu para wanita yang: (1) berpakaian tetapi telanjang, (2) maa-ilaat wa mumiilaat, (3) kepala mereka seperti punuk unta yang miring.

Yang dimaksud berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang menutup sebagian tubuhnya dan menyingkap sebagian lainnya, artinya sengaja membuka sebagian aurat. Adapun maa- ilaat adalah berjalan sambil memakai wangi- wangian dan mumilaat yaitu berjalan sambil menggoyangkan kedua pundaknya atau bahunya. Sedangkan wanita yang kepalanya seperti punuk unta yang miring adalah wanita yang sengaja memperbesar kepalanya dengan mengumpulkan rambut di atas kepalanya seakan-akan memakai serban (sorban).

Nah, sifat-sifat di atas yang kita temukan juga pada foto pre-wedding ketika banyak wanita yang berpose dengan pamer aurat tanpa ada rasa malu.

3- Bersentuhan dengan lawan jenis yang haram

Ada juga yang dalam foto saling bersentuhan padahal belum halal. Dalam hadits terdapat ancaman keras,

لأنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطُ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

"Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya." (HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

4. Tabarruj yang tidak dibolehkan

Jika  wanita berpose manis saat itu. Padahal berpenampilan tabarruj seperti ini diharamkan. Apa itu tabarruj? Di antara maksudnya adalah berdandan menor dan berhias diri. Itulah yang kita lihat pada foto pre wedding.

Allah memerintahkan pada para wanita,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu (QS. Al Ahzab: 33).

Maqotil bin Hayan mengatakan bahwa yang dimaksud berhias diri adalah seseorang memakai khimar (kerudung) di kepalanya namun tidak menutupinya dengan sempurna. Dari sini terlihatlah kalung, anting dan lehernya. Inilah yang disebut tabarruj (berhias diri) ala jahiliyyah. Silakan kaji dari kitab Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim karya Ibnu Katsir, 6: 183 (terbitan Dar Ibnul Jauzi).

Jika seorang wanita memakai make-up, bedak tebal, eye shadow, lipstick, maka itu sama saja ia menampakkan perhiasan diri. Inilah yang terlarang dalam ayat,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya" (QS. An Nur: 31).

5. Jika sampai ada adegan "kiss" (ciuman)

Jika sampai ada adegan kiss/ciuman padahal belum halal sebagai suami istri, maka ini jelas lebih parah lagi.

Ada hadits yang menyebutkan,

أَنَّ رَجُلاً أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً ، فَأَتَى النَّبي - صلى الله عليه وسلم - فَأَخْبَرَهُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( أَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَي النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ) . فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِى هَذَا قَالَ « لِجَمِيعِ أُمَّتِي كُلِّهِمْ »

Ada seseorang yang sengaja mencium seorang wanita (non mahram yang tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengabarkan tentang yang ia lakukan. Maka turunlah firman Allah Ta'ala (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam." (QS. Hud: 114). Laki-laki tersebut lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pengampunan dosa seperti itu hanya khusus untuk aku?" Beliau bersabda, "Untuk seluruh umatku." (HR. Bukhari no. 526 dan Muslim no. 2763). Hadits ini menunjukkan berciuman bagi pasangan yang belum halal adalah satu hal yang diharamkan dan dihukumi dosa karena sahabat Nabi yang disebutkan dalam hadits ini menyesal dan ingin bertaubat.[12]

 

Kesimpulan

1. Diperbolehan meminang perempuan yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suaminya atau karena talak ba’in, namun dengan cara sindiran.

2. Diharamkan melakukan akad nikah dengan perempuan yang masih dalam masa iddah itu, jika terjadi pernikahan maka pernikahan itu tidak sah.

3. Diperbolehkan menalak istri yang belum dicampuri sekiranya ada hal yang mendesak.

 


 

Daftar Pustaka

Kamus almaany.com

Al-Iraki, Butsainah As-Sayyid,Rahasia pernikahan bahagia, Griya Ilmu,

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir ayat-ayat Ahkam, Keira Publising, Jawa Barat,

Al-Faifi, Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya, Fikih sunnah Sayyid Sabiq, Pustaka Al-Kautsar,Jakarta Timur

Al-Mashri, Syaikh Mahmud, Bekal pernikahan,Qithi Press,Jakarta

Sumber https://rumaysho.com/5503-hukum-foto-pre-wedding.html

 

 

 



[1] Kamus almaany.com

[2] Rahasia pernikahan bahagia, Butsainah As-Sayyid Al-Iraki, Griya Ilmu, hal 35

[3] Al-Qur’an Indonesia

[4] Tafsir ayat-ayat Ahkam, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Keira Publising, Jawa Barat, hal 372

[5] Ibid hal 374

[6] Ibid hal 375

[7] Ibid hal 376

[8] Ibid hal 380

[9] Rahasia pernikahan bahagia, Butsainah As-Sayyid Al-Iraki, Griya Ilmu, hal 38

 

[10] Fikih sunnah Sayyid Sabiq,Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi,Pustaka Al-Kautsar,Jakarta Timur

[11] Bekal pernikahan,Syaikh Mahmud Al-Mashri,Qithi Press,Jakarta, Hal 323

[12] Sumber https://rumaysho.com/5503-hukum-foto-pre-wedding.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Dakwah Terhadap Moral Bangsa Indonesia

Sejarah Agama Nashrani