Khitbah Dalam Perspektif Islam
KHITBAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Disusun oleh :
Fulung Wahyu Nugroho
KELAS
KEPAKARAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI ILMU DA’WAH MOHAMMAD
NATSIR ( STID )
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah ﷻ atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Khitbah dan hak perempuan terhadap
mahar” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari rekan-rekan yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Penyusunan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Tafsir Ayat
Ahkam. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah
pengetahuan kami dalam memahami tafsir dan juga kandungan hukum yang ada
didalam ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 235-237 yakni membahas Khitbah dan
hak perempuan terhadap mahar.
Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata
semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.
BAB
I
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Khitbah
Khitbah
secara bahasa artinya meminang/melamar dari kata خطب
، يخطب.[1]
Khitbah adalah pendahuluan (langkah awal) dalam proses
menuju pernikahan telah disyariatkan dalam agama, sebelum disatukan yang dengan
akad pernikahan, agar masing-masing dari calon mempelai mengetahui calon pendampingnya,
dan selanjutnya melaju ke jenjang perkawinan dengan mengetahui hal-hal yang
dianggap perlu.[2]
a.
Nash dan Arti Al-Qur’an
Allah
ﷻ berfirman :
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ
أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ
وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِكَاحِ وَأَنْ
تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
"Dan
tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau
kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk
menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan kata yang
baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya.
Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah
kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. Tidak
ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh
(campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka
mut'ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut
kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan
kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan jika kamu menceraikan
mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya,
maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka
membebaskan atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya.
Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di
antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS.
Al-Baqarah [2]: 235-237)[3]
b.
Tafsir per Kata
"ارضتم": Sindiran." Dari kata ta'ridh yakni isyarat dan
sindiran tanpa mengungkapkan tidak pula menunjukkan. Yakni ia memahami
keinginan orang yang menyampaikan khitbah (lamaran) dengan suatu bentuk isyarat
tanpa pernyataan yang tegas. Ta'ridh diambil dari kata 'ardhu asy-syai'i yakni
sisi sesuatu.
Dalam
Al-Lisan dikatakan 'arradha bisy-syai'i menyatakan sesuatu dengan sindiran
tanpa menjelaskannya. Sindiran adalah kebalikan dari pernyataan tegas.
Sedangkan maaridh adalah tauriyah (kamuflase) dengan sesuatu dari sesuatu yang
lain. Dalam hadits, "Sesungguhnya dalam maäridh ada keleluasaan untuk
menghindari dusta." Sindiran terkait lamaran kepada perempuan adalah
menyampaikan perkataan yang mengesankan lamaran kepadanya, namun tidak
dinyatakan dengan tegas. Misalnya: orang mengatakan kamu cantik, kamu benar-benar
memikat banyak orang, dan kamu mengajak kepada kebaikan. Sebagaimana orang yang
membutuhkan bantuan berkata; aku datang untuk menyampaikan salam kepadamu, dan
untuk memandang wajahmu yang mulia. Maka dari itu mereka mengatakan,
"Salam dariku sudah cukup bagimu untuk menyelesaikan masalah kita."
"خطبة
النساء": Khithbah (peminangan) dengan
harakat kasrah pada huruf kha, maksudnya mengajukan permintaan untuk menikah.
Sementara khutbah adalah perkataan yang dimaksudkan untuk menyampaikan nasihat,
seperti khutbah Jumat. Dalam hadits, "Jangan sampai siapa pun di antara
kalian meminang atas pinangan saudaranya."
"اكننتم": Dari kata akna yang artinya menutupi dan menyembunyikan.
Iknast artinya rahasia dan tersembunyi.
Ibnu
Qutaibah mengatakan aknantu asy-syai'a artinya aku menutupi sesuatu. Dan
kanantu asy-syai`a artinya aku menjaga sesuatu. Ini sebagaimana firman Allah
Swt., "Seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik.
"لا
تواعدوهن": Yang dimaksud dengan rahasia di
sini adalah pernikahan sebagaimana yang disebutkan oleh Az-Zajjaj dalam bait
syair yang disampaikannya:
Ibnu
Qutaibah mengatakan bahwa rahasia digunakan sebagai kata kiasan dari pernikahan
karena pernikahan (hubungan intim) terjadi secara rahasia di antara suami
istri. Maksudnya jangan menjanjikan
pernikahan kepada mereka sementara mereka masih dalam masa iddah kecuali dengan
isyarat mata (kerdipan).
"عقدة
النكاح": Akad dari kata 'aqd yakni ikatan.
Dalam pepatah dikatakan, "Hai 'aqid (yang
mengikat) ingatlah pelepasan.
Ar-Raghib
mengatakan 'uqdah adalah isim bagi sesuatu yang dikenai ikatan, seperti
pernikahan, sumpah, atau lainnya.
Az-Zajjaj
mengatakan maksudnya: la ta'zimû ala 'uqdati an-nikah adalah jangan melakukan
pengukuhan terhadap akad nikah. Kata alá tidak disebutkan untuk meringankan.
Sebagaimana yang mereka katakan dharaba zaidun azh-zhahra wal- bathn: Zaid
memukul punggung dan perut. Maksudnya alá azh-zhahr wal-bathn, pada punggung
dan perut.
"اجله": Yakni berakhir masa iddah. Yang dimaksud dengan kitab
dalam ayat tersebut adalah kewajiban yang ditetapkan Allah kepada perempuan
yang menjalani masa iddah seperti tinggal di tempat selama masa iddah. Makna firman-Nya, "Sebelum habis masa
iddahnya." Yakni sebelum masa iddahnya berakhir.
"فاحذروه": Yakni takutlah pada hukuman-Nya dan jangan melanggar
perintah- Nya. Ungkapan ini mengandung makna ancaman dan peringatan.
"حليم": Dia menangguhkan hukuman sehingga Dia tidak
menyegerakannya. Di antara ketentuan Allah Swt. yang berlaku bahwa Dia
menangguhkan namun Dia tidak mengabaikan
"الموسع": Yang berada dalam kondisi lapang karena kekayaannya.
Dari kata músi'. Dalam ungkapan Arab dicontohkan, ausaa ar-rajulu yakni orang
itu banyak hartanya.
"المقتر": Yang berada dalam kesulitan karena kefakirannya. Dalam
ungkapan Arab dicontohkan, aqtara ar-Rajulu yakni orang itu
fakir. Aqtara 'ala iyalihi wa gattara, yakni ia mempersempit pemberian nafkah
kepada keluarganya.
"تمسوهن": Dari kata massa yakni menahan sesuatu dengan tangan.
Serupa dengan kata misas dan masis.
Ar-Raghib
mengatakan massa seperti lamisa (sentuh). Demikian pula sebutan bagi sesuatu
yang ditangkap dengan indera peraba. Sentuhan digunakan sebagai kiasan dari
persetubuhan. Dalam ungkapan Arab dicontohkan, massaha dan massaha, ia
menyentuhnya. Allah Swt. berfirman, "Tidak ada seorang manusia pun yang
menyentuhku."
"فريضة": Dari kata faridhah yang asalnya berarti sesuatu yang
diwajibkan Allah kepada hamba. Yang dimaksudkan di sini adalah mahar karena
mahar ditetapkan atas perintah Allah.
"يعفون": Maksudnya membiarkan dan memaklumi, yakni perempuan menggugurkan hak maharnya.[4]
c.
Makna Global
Allah
Swt. menjelaskan ketentuan khitbah kepada perempuan-perempuan yang menjalani
masa iddah setelah suami mereka wafat. Allah Swt. berfirman yang maknanya tidak
ada hambatan tidak pula dosa bagimu, wahai para lelaki, untuk menunjukkan
kesukaanmu untuk menikah dengan perempuan-perempuan yang menjalani masa iddah,
melalui isyarat mata bukan dengan pernyataan terbuka. Sesungguhnya Allah Swt.
mengetahui kecondongan hati kepada mereka yang kamu sembunyikan di hatimu, dan
hasrat untuk menikah dengan mereka, namun Allah tidak menghukummu atas itu.
Akan tetapi kamu tidak diperkenankan untuk mengungkapkan hasrat ini secara
terbuka sementara mereka masih dalam masa iddah, kecuali melalui sindiran dan
dengan cara yang baik, dengan syarat tidak ada perkataan jorok atau kata-kata
yang tidak pantas. Janganlah kamu mengukuhkan niatmu untuk mengadakan akad
nikah sebelum masa iddah berakhir. Dan ketahuilah bahwa Allah memantau
rahasia-rahasia dan apa-apa yang kamu sembunyikan serta memperhitungkan
tindakanmu itu.
Kemudian
Allah Swt. menyebutkan ketentuan bagi perempuan yang dijatuhi talak sebelum
mendapatkan mahar dan sebelum terjadi hubungan intim. Allah tidak melarang
talak sebelum suami istri hidup serumah, agar tidak ada seorang pun yang
menduga bahwa talak pada kondisi ini dilarang. Allah memerintahkan pembayaran
mut'ah kepada mereka untuk melipur hati mereka sesuai dengan batas kemampuan
laki-laki menurut tingkat kecukupan dan kekurangannya, serta menetapkan ini
sebagai bentuk ihsan untuk menghapus kesepian akibat talak. Adapun jika talak
terjadi sebelum hubungan intim sementara mahar sudah disebutkan, maka perempuan
yang ditalak berhak mendapatkan setengah mahar yang ditetapkan, kecuali bila ia
menggugurkan haknya, atau suami menyerahkan mahar penuh kepadanya, atau walinya
menggugurkan haknya bila ia masih kecil.
Kemudian
Allah Swt. menutup ayat dengan mengingatkan agar tidak ada yang melupakan kasih
sayang, ihsan, dan kebaikan di antara suami istri. Jika talak terjadi dengan
sebab-sebab yang gbersifat darurat dan memaksa, maka semestinya tidak boleh
menjadi faktor yang memutus ikatan kekeluargaan dan hubungan kekerabatan.[5]
d.
Sebab Turun Ayat
Al-Khazin
berkata dalam tafsirnya: Ayat kedua diturunkan tentang seorang laki-laki Anshar
yang mengawini seorang perempuan Bani Hanifah dengan tidak menyebutkan
maharnya, lalu dicerainya sebelum dicampuri. Begitulah, lalu turun ayat ketiga.
Sesudah itu lalu Rasulullah Saw. bersabda kepada laki-laki tersebut:
"Berilah dia mutah sekalipun dengan kopiahmu itu."[6]
e.
Ragam Qira'ah
1.
Jumhur membacanya mâ lam tamassûhunna. Hamzah dan Al-Kisa'i membacanya
tumassûhunna, dengan alif dan dhammah pada ta` di dua tempat di sini dan dalam
surah Al-Ahzab. Ini merupakan pola kata mufäalah seperti mubasyarah dan
mujâma'ah.
2.
Jumhur membacanya 'alal-mûsi'i qadaruhu, marfü' pada qadaruhu. Ibnu Katsir dan
Nafi' membacanya qadruhu, dengan sukun pada dal.
3.
Jumhur membacanya wa an ta'fû aqrabu lit-taqwa. Dibaca juga dengan ya'; wa an
ya'fû 510
f.
Ragam I'rab
Pertama,
firman Allah Swt.; wa lakin lå tuwa'idûhunna sirran. Kata läkin sebagai haruf
istidråk. Sementara mustadraknya dibuang dengan menyimpan kalimat
"Alimallahu annakum satadzkurúnahunna fadzkurûhunna walâkin lâ
tuwa'idûhunna." Kata sirran sebagai maf ül bih (objek) karena ia
mengandung pengertian nikah. Kemungkinan juga posisinya dijadikan sebagai hal
dengan mengira-ngirakan makna mustakhfina, sementara maf al-nya dibuang.
Kedua,
Firman Allah, "Wala ta'zimů 'uqdatannikâhi" bentuk nashab dengan
membuang huruf jar.
Ketiga,
Firman Allah, "Ma lam tamussûhunna". Må mashdariyah dengan membuang
zaman yaitu fi zamani tarki massihinna. Ada yang berpendapat, Má disini adalah
Ma Syarthiyyah.
Keempat,
Firman Allah "Fanishfu må farradhtum" menjadi khabar dengan mubtada
yang dibuang. Jika ditampakkan maka berbunyi: Falwajibu nishfu mà farradhtum
atau fa 'alaikum nishfu må farradhtum. Ma isim maushul dengan makna alladzi.
g.
Kelembutan Tafsir
1.
Al-Qur'an membolehkan meminang perempuan dalam 'iddah dengan cara menggunakan
bahasa sindiran. Seperti ucapan: Kamu perempuan yang cantik: kamu shalehah,
engkau; kamu dermawan dan sebagainya, yang diucapkan di hadapannya.
Ibnul
Mubarak meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Sulaiman dari bibinya (Sukainah
binti Handhalah), ia berkata: "Abu Ja'far, Muhammad bin Ali, pernah masuk
ke rumahku, di saat aku masih dalam iddah, lalu ia berkata: 'Aku ini orang yang
engkau tahu betul akan kekerabatanku dengan Rasulullah Saw. dan hak kakekku,
Ali, serta jejakku dalam Islam, lalu aku berkata: 'Semoga Allah mengampunimu.
Hai Abu Ja'far, apakah engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam iddah
dan (apakah) engkau mau disiksa?' Abu Ja'far menjawab: 'Apa aku sudah berbuat?
Aku hanya memberitahumu akan kekerabatanku dengan Rasulullah Saw, serta
kedudukanku (dalam keluarga). Bukankah Rasulullah Saw. juga pernah masuk ke
rumah Ummu Salamah ketika Abu Salamah meninggal dunia, dan Rasulullah Saw,
sendiri yang terus menerus menyebut-nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di
sisi Allah, sedangkan dia bertanggung jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar
melekat pada dirinya. namun yang demikian itu tidak dinamakan meminang."
2.
Az-Zamakhsyari berkata: yang dimaksud dengan "Rahasia" dalam ayat di
atas. adalah bentuk sindiran dari nikah, sedangkan nikah itu sendiri asal
artinya ialah: bersetubuh. Itulah yang dirahasiakan (dalam perkawinan) itu.
Seperti kata al-A'sya:
Janganlah
engkau mendekat seorang gadis
Sesungguhnya
rahasianya itu haram atasmu
Kawinilah
dia atau engkau sama sekali menjauh.
Kemudian
kata ini dipergunakan untuk arti "kawin" yang berarti 'akad, karena
akad
itu suatu "sebab terjadinya perkawinan,
3.
Penyebutan kata "azam" dalam ayat "Walata'zimi
uqdatannikahi" adalah me- miliki makna mubalaghah dalam suatu larangan
untuk melakukan perkawinan pada masa iddah, karena azam untuk perbuatan
tersebut adalah merupakan muqaddimahnya. Kalau azam saja sudah dilarang, maka
mengerjakan lebih dilarang.
4.
Allah mempergunakan kata "menyentuh" untuk arti bercampur, adalah
suatu kinayah yang halus yang biasa dipergunakan Al-Qur'an.
Abu
Muslim berkata: Kinayah yang dipergunakan Allah Swt. untuk bercampur dengan
menyentuh itu, sebagai didikan buat manusia agar dalam percakapannya
sehari-hari selalu memilih kata-kata yang baik.
5.
Khithab dalam firman Allah: "Bahwa memaafkan itu jalan terdekat menuju
ketakwaan" dan "Jangan kamu lupakan kelebihan di antara kamu"
itu tertuju kepada pria dan wanita, yang disampaikan secara umum.
Ar-Razi
berkata: "Apabila pria dan wanita hendak disebut secara bersamaan, maka
pada umumnya cukup dengan menyebutkan pria. Sebab pria menjadi inti, sementara
wanita sebagai pelengkap atau cabang. Misalnya kamu mengatakan: 'Ada orang yang
(laki-laki) berdiri, sementara yang kamu maksud adalah perempuan'."
6.
Hikmah diwajibkannya memberi biaya hidup kepada istri yang ditalak adalah untuk
menghilangkan perasaan sedih karena talak. Ibnu Abbas berkata: "Apabila
suami orang kaya, maka bentuk biaya hidup berupa pelayan. Dan apabila miskin,
bentuk biaya hidup yang diberikan berupa tiga helai baju."
7.
Diriwayatkan, bahwa Al-Hasan bin Ali, pernah memberikan mut'ah sebanyak 10.000,
lalu perempuan itu berkata: "Mutah ini terlalu kecil, dari seorang kekasih
yang menceraikan." Adapun sebab dicerainya istrinya Aisyah al-Khats'amiyah
itu ialah bahwa ketika Ali terbunuh dan Al- Hasan dibai'at sebagai khalifah,
Aisyah mengatakan: "Rupanya kekuasaan (khalifah) ini menyenangkan engkau,
ya Amirul Mukminin!" Al-Hasan menjawab: "Ali terbunuh, sedang engkau
senang dengan kedudukan ini? Pergi, engkau ku talak tiga!" Begitulah, lalu
Aisyah berselimut dengan jilbabnya, dan ia tetap menanti hingga habis masa
iddahnya. Lalu oleh al-Hasan dikirimnya mutah sebanyak 10.000, serta sisa
ma'nar (yang belum terbayar). Aisyah berkomentar: "Suatu pemberian (mutah)
yang terlalu kecil, dari seorang kekasih yang menceraikan." Setelah utusan
itu menyampaikan hal itu kepada Hasan, maka Hasan menangis, seraya berkata:
"Seandainya aku tidak menjatuhkan talak ba'in, niscaya kurujuk dia."[7]
h.
Kandungan Hukum
Pertama,
Apa hukum meminang perempuan? Terkait meminang perempuan, ada tiga hukum,
yaitu:
a.
Perempuan yang boleh dipinang dengan terang-terangan dan dengan sindiran, yaitu
perempuan yang masih sendirian dan bukan dalam masa 'iddah. Sebab, manakala dia
boleh dinikahi, tentu juga boleh dipinang.
b.
Perempuan yang tidak boleh dipinang, baik dengan terang-terangan maupun dengan
cara sindiran. Yaitu: Perempuan yang masih mempunyai suami, sebab meminang
perempuan dalam keadaan demikian, berarti merusak hubungan suami istri dan
hukumnya haram. Begitu juga perempuan yang ditalak raj'i yang masih dalam
iddah. Dia ini dihukumi sebagai perempuan yang masih dalam perkawinan.
c.
Perempuan yang boleh dipinang dengan cara sindiran, tidak boleh dengan
terang-terangan. Yaitu: Perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam
'iddah, seperti yang diisyaratkan al- Qur'an: "Dan tidak ada dosa atas
kamu meminang perempuan itu dengan sindiran." Termasuk perempuan yang
ditalaktiga.
Dalil
bagi terlarangnya peminangan ini adalah apa yang dikatakan Imam Syafi'i:
"Dikhususkannya dengan tidak berdosa peminangan secara sindiran itu,
menunjukkan bahwa peminangan dengan terang-terangan adalah sebaliknya
Pernyataan ini merupakan bentuk dari mafhúm mukholafah
Kedua,
Apakah pernikahan yang dilakukan pada masa iddah sah atau tidak?
Allah
mengharamkan pernikahan selama dalam iddah dan mewajibkannya agar menanti, baik
dalam iddah talak ataupun meninggal. Sebagai landasannya adalah firman Allah:
"Dan jangan kamu berazam untuk mengadakan aqad nikah, sehingga habis masa
iddahnya." Ayat ini menunjukkan haramnya mengadakan akad perkawinan dalam
iddah. 'Ulama sepakat bahwa aqadnya itu fasid, dan wajib difasakh karena
larangan Allah tersebut. Dan apabila aqad itu dilangsungkan lalu hidup berumah
tangga, pernikahannya itu harus difasakh, dan perempuan itu haram bagi suaminya
untuk selama-lamanya. Demikian menurut Imam Malik dan Ahmad. Alasannya ialah
keputusan Umar. Karena laki-laki itu menganggap halal sesuatu yang tidak halal,
karena itu dia harus dihukum dengan diharamkannya kawin dengan perempuan
tersebut. Tak ubahnya pembunuh yang harus dihukum dengan diharamkannya
mendapatkan warisan (dari harta si terbunuh).
Abu
Hanifah dan Syafi'i berkata: "Perkawinannya itu difasakh, tetapi kalau
perempuan itu sudah keluar dari masa iddahnya, maka laki-laki yang mengawininya
tadi dinilai sebagai "peminang", dan tidak diharamkan untuk kawin
dengan perempuan tersebut untuk selamanya. Karena pada asalnya perempuan
tersebut tidak haram atasnya, dengan dasar Al-Qur'an dan Sunnah serta ljma!
Haram untuk selamanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah
ini." Mereka juga berkata: "Zina-misalnya adalah lebih besar dosanya
daripada akad dalam iddah. Kalau zina saja tidak dapat menjadikan haramnya
perkawinan untuk selamanya, maka percam- puran karena syubhat lebih tidak
menunjukkan haramnya perkawinan. Apa yang diriwayatkan dari Umar tadi, sudah
ada penegasan, bahwa ia telah menarik kembali pendapatnya itu.
Keputusan
Umar, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mubarak dengan sanadnya dari Masruq
adalah: "Sampailah berita kepada Umar, bahwa ada seorang wanita Quraisy
yang dikawini seorang laki-laki dari Tsaqif, padahal wanita tersebut masih
dalam iddah. Lalu Umar mengirim utusan kepada suami istri itu untuk
menceraikannya serta menghukumnya. Dalam hukumannya itu, Umar mengatakan: 'Si
laki-laki itu tidak boleh kawin dengan perempuan tersebut untuk selama-lamanya
dan menetapkan maharnya untuk baitul mal. Berita itu tersiar di kalangan
masyarakat, bahkan sampai juga kepada Ali karramallahu wajhah. Maka Ali
berkata: 'Semoga Allah memberi rahmat kepada Amiral Mukminun! Apa gerangan
halnya mahar dan baitul mal, itu adalah karena tidak tahu. Keduanya harus
dikembalikan kepada sunnah. Lalu Ali ditanya: 'Kalau begitu apa pendapatmu
tentang mahar dan baitul mal itu?' Ali menjawab: 'Perempuan tersebut tetap
berhak mendapat mahar, karena telah dihalalkan kemaluannya, tetapi keduanya
harus diceraikan dan tidak usah didera. Iddahnya disempurnakan dari suami
pertama, kemudian beriddah dari suami yang kedua dengan iddah yang sempurna,
kemudian kalau dia mau, dia boleh meminangnya.
Setelah
pendapat Ali itu sampai kepada Umar, lalu Umar berkata: 'Hai manusia!
Kembalikanlah semua yang tidak tahu itu kepada sunnah!"
Ketiga,
Bagaimana hukum perempuan yang ditalak sebelum bersetubuh? Beberapa ayat sudah
menjelaskan tentang hukum perempuan yang ditalak, diantaranya:
a.
Perempuan yang sudah disetubuhi dan sudah ditentukan maharnya.
b.
Perempuan yang sudah disetubuhi dan belum ditentukan maharnya.
c.
Perempuan yang belum disetubuhi tetapi sudah ditentukan maharnya.
d.
Perempuan yang belum disetubuhi tetapi belum ditentukan maharnya.
Pertama,
Iddahnya selama tiga quru' dan maharnya tidak boleh diminta oleh suami Sebagai
dasarnya adalah firman Allah: "Dan perempuan-perempuan yang ditalak itu
hendaklah menunggu diri-diri mereka selama tiga quru'." Dan ayat "Dan
tidak halal bagi kamu menarik kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka." (QS Al-Baqarah [2]: 228-229).
Kedua,
Tidak ada iddahnya dan tidak berhak menerima mahar, tetapi berhak mendapatkan
pemenuhan kebutuan pokok. Sebagai dasarnya adalah firman Allah: "Tidak ada
mahar atas kamu, jika kamu menceraikan perempuan-perempuan yang belum kamu
campuri mereka itu atau belum kamu tentukan maharnya, tetapi berilah mereka
mutah." (QS. al-Baqarah [2]: 236). Dan "... Kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu campuri mereka itu, maka tidak ada hak kamu atas mereka
dari iddah yang perlu kamu hitung" (QS. al-Ahzab [33]: 49).
Ketiga,
Tidak ada iddahnya tetapi mendapat separuh mahar. Dasarnya ialah firman Allah:
"Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu campuri mereka itu padahal
sudah kamu tentukan maharnya, maka mereka berhak mendapatkan separuh dari
(mahar) yang telah kamu tentukan itu." (QS. Al-Baqarah [2]: 237).
Keempat,
Berhak mendapat mahar yang sepadan. Sebagai dasarnya adalah, firman Allah:
"... Dan istri-istrimu yang telah kamu nikmati itu, berilah mereka
mahar..." (QS. An-Nisa' [4]: 24). Juga berdasarkan pada ijma' para ulama
yang menyatakan bahwa perempuan yang sudah disetubuhi suaminya karena suatu
syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar yang sepadan. Sedang perempuan yang
sudah disetubuhi dengan pernikahan yang sah, dia lebih berhak, berdasarkan
hukum ini.[8]
Keempat,
Melihat Perempuan yang Dipinang?[9]
Apabila
seorang laki-laki telah menjatuhkan pilihan pada seorang perempuan dan berniat
untuk menikahinya, maka ia wajib melihatnya. la dibolehkan melihatnya pada
paras yang boleh dilihat menurut syariat. Para ulama juga sepakat bahwa melihat
perempuan yang hendak dipinang hukumnya adalah boleh. Akan tetapi, mereka
berselisih paham mengenai bagian tubuh mana yang boleh dilihat. Mengenai hal
ini terdapat lima pendapat:
Pendapat
pertama, sebagian besar ulama berpendapat bahwa
boleh hukumnya melihat kedua telapak tangan dan wajah, karena wajah mewakili
kecantikan paras atau sebaliknya. Sedangkan kedua telapak tangan mewakili
subur-tidaknya tubuh. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menambahkan, boleh
melihat kedua kaki. Pendapat ini disepakati oleh Imam Asy-Syafi'i. Dalil yang
digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah:
1. Firman Allah ta’ala
ولا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
"Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali apa yang (biasa) tampak
darinya." (An-Nur: 31)
2.
Pada dasarnya, melihat perempuan hukumnya haram. Akan tetapi, dibolehkan
bilamana diperlukan. Maka, keharaman ini dibolehkan ketika terdapat hajat yang
mengkhususkan.
3.
Bahwa orang yang memperhatikan wajah seseorang dinamakan orang yang melihat
kepadanya (nazhir ilaihi). Adapun orang yang melihat seseorang yang berpakaian
dinamakan ra'in lahu (sekadar melihatnya).
Pendapat
kedua, dibolehkan melihat anggota tubuh yang
biasa tampak selain wajah, seperti lengan atau kaki. Dalam hal ini ada dua
pendapat:
1.
Tidak boleh melihat selain wajah, karena yang dibutuhkan hanyalah melihat
wajah. Maka, melihat anggota tubuh lainnya tetap pada hukum asalnya, yaitu
haram.
2.
Boleh melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya. Diriwayatkan bahwa Imam
Ahmad membolehkan melihat wajah, tangan, atau anggota tubuh yang umum terlihat,
berdasarkan kisah Umar bin Al-Khatthab ketika ia meminang Ummu Kultsum, puteri
Ali bin Abi Thalib, Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam kitab- nya, dari Ibnu
Uyainah dari Amr bin Dinar dari Abu Ja'far, ia menuturkan bahwa Umar meminang
puteri Ali. Lalu Ali berkata, "la masih kecil." Kemudian dikatakan
kepada Umar bahwa yang demikian itu karena sebenarnya Ali mengizinkan
puterinya. Lalu, Umar mengajaknya berbicara. Kemudian Ali berkata, "Aku
akan mengantarkannya kepadamu. Jika ia mau menerima, maka ia akan menjadi
isterimu." Ketika Ali mengantarkan puterinya itu, Umar lalu mengangkat
kainnya dan melihat betisnya. Maka berkatalah puteri Ali, Turunkanlah,
seandainya engkau bukan Amirul Mukminin, niscaya akan aku patahkan
lehermu!" Umar mengemukakan alasan menikahinya seraya mengatakan,
"Tidaklah aku menikah karena dorongan nafsu yang ada pada diriku, melainkan
karena aku mendengar Rasulllah bersabda, 'Setiap alasan dan nasab akan terputus
pada Hari Kiamat, kecuali alasan dan nasabku. Oleh sebab itu, aku ingin antara
aku dan Nabi Allah ada alasan dan nasab!"
Pendapat
ketiga, boleh melihat seluruh anggota tubuh. Ini
adalah pendapat Ibnu Hazm dan madzhab Zhahiri (pengikut mazhab Dawud
Az-Zhahini).
Siapa
pun yang hendak menikahi seorang perempuan, maka ia boleh melihat dengan
sembunyi-sembunyi, baik yang biasa terlihat ataupun yang tidak. Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا
يَدْعُوهُ إِلَى نَكَاحَهَا فَلْيَفْعَلْ
“Apabila
salah seorang diantara kamu meminang, jika ia memungkinkan melihat sesuatu yang
mendorongnya menikahinya, maka lakukanlah.” (H.R Abu Daud dan Ahmad).
Pendapat
keempat, boleh melihat anggota tubuh yang
berdaging.
Demikian
pendapat Al-Auza'i, juga dikuatkan oleh Sayyid Sabiq, seraya mengemukakan bahwa
hadits-hadits yang berhubungan dengan hal ini tidak menentukan apa saja yang
boleh dilihat, melainkan melihat secara mutlak agar lelaki yang meminang
memperoleh maksud dari melihat. Ini mengacu pada kisah Umar bin Al-Khatthab
ketika ia meminang Ummi Kultsum, puteri Ali bin Abi Thalib.
Pendapat
kelima, At-Thahawi mengemukakan bahwa sebagian ulama tidak membolehkan melihat
wajah seorang perempuan kecuali suami atau mahramnya. Mereka berdalil dengan
hadits Ali bin Abi Thalib secara marfu", "Hai Ali, sesungguhnya
engkau memiliki simpanan kekayaan (bidadari) di surga dan engkau adalah
pendampingnya. Maka, janganlah engkau mengikutkan pandangan (pertama) pada
pandangan (kedua). Sebab, untukmu boleh yang pertama, tetapi bukan yang kedua
(Ahmad dan Al-Haitsami)
Dari
Jarir, ia menuturkan, "Aku bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan
tiba-tiba (tidak sengaja). Beliau bersabda, "Paling- kanlah
pandanganmu."
Meskipun
terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang apa yang boleh dilihat,
namun jelaslah bahwa syariat membolehkan untuk melihat perempuan yang akan
dipinang, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits Nabi sebagai berikut:
1.
Rasulullah berkata kepada Al-Mughirah, sementara ia telah meminang seorang
perempuan:
الظُّرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤدَمَ بَيْنَكُمَا
"Lihatlah ia, karena yang demikian
itu akan melanggengkan kasih sayang di antara kamu berdua." (Riwayat
An-Nasa'i dan At-Tirmidzi)
2. Dari Jabir, ia berkata,
"Rasulullah bersabda
خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُاذا خطب
إِلَى
نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
"Apabila
salah seorang di antara kalian meminang, jika memungkin. kan melihat sesuatu
yang mendorongnya menikahinya, maka lakukanlah." (Riwayat Abu Dawud dan
Ahmad)
Maka,
aku (Jabir) meminang seorang perempuan. Sebelumnya aku melihat perempuan
tersebut secara sembunyi-sembunyi sampai melihat apa yang membuatku terdorong
untuk menikahinya. Lalu aku pun menikahinya."
3.
Hadits dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa ketika ia sedang bersama Nabi,
ada seorang laki-laki mengatakan kepadanya bahwa ia hendak menikah dengan
seorang perempuan Anshar. Maka, bersabdalah Rasulullah . "Apakah engkau
sudah melihatnya?" la menjawab, "Belum." Lalu Rasulullah
bersabda, "Pergilah dan lihatlah ia, karena sesungguhnya ada sesuatu di
mata kaum Anshar."
4.
Dalam hadits marfu' yang diriwayatkan dari Muhammad bin Salamah, dikatakan
bahwa Nabi bersabda, "Jika terbetik di hati seseorang untuk meminang
seorang gadis, maka bolehlah ia me- lihatnya."
5.
Dan Abu Humaid juga diriwayatkan dalam hadits marfu", "Jika salah
seorang di antara kalian hendak meminang seorang per- empuan, maka ia tidak
disalahkan melihatnya selama untuk tujuan meminang, meskipun tanpa
sepengetahuan perempuan itu."
6.
Dan Jabir bin Abdullah, ia meriwayatkan hadits marfu", "Jika salah
seorang dari kamu meminang seorang perempuan, dan ia bisa melihat apa yang
mendorongnya untuk menikahinya, maka laku- kanlah
7.
Dalam hal ini, Imam Al-Bukhari berdalil dengan hadits dari Aisyah
"Rasulullah bersabda, 'Engkau diperlihatkan kepadaku dalam mimpi, malaikat
mendatangkanmu dengan mengenakan kain sutra Lalu ia berkata kepadaku. Inilah
isterimu. Lalu aku membuka kain yang menutup wajahmu. Ternyata engkau adalah
perempuan itu 'Lalu aku berkata, jika ini dari sisi Allah, maka terjadilah itu,
"
Kelima,
Siapa yang Boleh Dikhitbah?
Seorang
wanita tidak boleh dikhitbah kecuali terpenuhi dua syarat:
1.
Tidak ada halangan secara Syariat yang mencegahnya untuk dinikahi pada saat
itu.
2.
Tidak ada orang lain yang telah mengkhitbahnya secara Syariat meminang Wanita
yang Sedang dalam Masa Iddah
Haram
hukumnya mengkhitbah wanita yang sedang dalam masa iddah, baik karena iddah
ditinggal mati oleh suaminya atau iddah karena talak (dicerai) suaminya, baik
Talak Raj'i maupun Talak Ba'in. Jika wanita yang sedang dalam masa iddah karena
dicerai suaminya dengan Talak Raji, haram hukumnya untuk meminangnya; karena
dia masih dalam naungan suaminya, dan bagi si suami masih punya hak untuk
merujuknya kembali, pada waktu yang dikehendaki (masih dalam masa iddah). Dan
jika iddah itu karena Talak Ba'in, haram hukumnya mengkhitbah dengan cara
terang-terangan, karena hak suami masih tergantung padanya, dan baginya hak
untuk kembali setelah adanya akad baru. Jika melamar dengan terang-terangan,
sang mantan suami akan merasa sakit hati. Para ulama berbeda pendapat tentang
ta'ridh untuk mengkhitbahnya, dan pendapat benar adalah diperbolehkannya. Dan
jika wanita dalam masa iddah yang karena ditinggal mati suaminya, maka boleh
menyatakan khitbah padanya pada masa iddah, tetapi tidak terang-terangan.
Maksud ta'ridh (menyindir) adalah seseorang yang menyampaikan sesuatu secara
tersirat, tidak mengungkapnya secara jelas. Misalnya seperti perkataan,
"Sesungguhnya aku ingin menikah" atau "Sungguh senangnya kalau
Allah memudahkanku mendapati seorang wanita shalihah." Jika terus terang
mengkhitbah dalam masa iddah, maka tidak boleh melakukan pernikahan hingga masa
iddahnya selesai. Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Menurut Imam
Malik keduanya dipisah baik sudah digauli maupun belum. Menurut Imam
Asy-Syafi'i akadnya sah meskipun ia berdosa karena melanggar larangan dengan
mengkhitbah secara terang-terangan sebagaimana yang telah disebutkan karena
adanya perbedaan persepsi. Dan mereka sepakat untuk memisahkan keduanya jika
terjadi akad (pernikahan) pada masa iddah dan menggaulinya. Dan apakah setelah
itu halal atau tidak? Menurut Malik, Al-Laits dan Al-Auza'i tidak halal baginya
menikahi wanita tersebut sesudahnya. Menurut jumhur ulama halal baginya
menikahi perempuan tersebut setelah masa iddahnya habis, jika ia ingin menikahinya
Keenam,
Meminang Wanita di Atas Pinangan Orang Lain?
Haram
hukumnya bagi seorang laki-laki meminang wanita yang sedang dipinang laki-laki
lain. Karena hal itu akan merebut hak peminang pertama dan dapat menyakiti
hatinya. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah bersabda,
الْمُؤْمِنُ أَخو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى
خطبة أحيه حتى يذر.
"Seorang
Mukmin adalah saudara bagi Mukmin yang lain, maka tidak halal baginya membeli
sesuatu yang sedang dalam transaksi saudaranya, dan juga tidak halal baginya
meminang pinangan saudaranya hingga (pinangan itu) dilepaskan." [HR.
Muslim).
Ketujuh,
Hukum Melihat Pinangan
Melihat
wanita yang dipinang adalah sesuatu yang dianjurkan oleh Syariat Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah a bersabda, "Jika salah seorang
dari kalian meminang seorang wanita, apabila dia mampu untuk melihat kepadanya
hingga membuatnya tertarik untuk menikahinya maka lakukanlah Jabir berkata,
"Maka aku meminang seorang wanita dari Bani Salimah, aku bersembunyi
hingga aku dapat melihat darinya sebagian apa yang mendorongku untuk
menikahinya." (HR. Abu Dawud).
Kedelapan,
Bagian Anggota Tubuh yang Boleh Dilihat Saat Meminang?
Jumhur
ulama berpendapat bahwa yang diperbolehkan dalam proses meminang adalah seorang
laki-laki melihat wajah wanita yang dipinang dan kedua telapak tangannya, tidak
boleh bagian yang lain. Karena dia dapat melihat kecantikannya dengan melihat
wajahnya, dan dengan melihat kedua telapak tangannya dapat mengetahui kondisi
kesuburannya. Menurut Dawud Azh-Zhahiri diperbolehkan melihat seluruh anggota
badannya. Dan menurut Al-Auza'i boleh melihat bagian-bagian anggota tubuh yang
berdaging. Dan hadits-hadits yang ada tidak membatasi tempat- tempat yang
dilihat akan tetapi dimutlakkan agar melihatnya hingga dapat tercapai apa yang
dimaksud dengan melihatnya. Dan jika ia melihat dan tidak terkagum (tertarik),
hendaknya diam dan tidak mengatakan sesuatu, sehingga tidak menyakiti hatinya
(perempuan) atas apa yang diucapkannya, bisa jadi sesuatu yang tidak ia kagumi
darinya tetapi ada orang lain yang mengaguminya.
Kesembilan,
Wanita Melihat Laki-laki yang Meminangnya?
Bagi
wanita boleh melihat laki-laki yang meminangnya karena kekagumannya seperti apa
yang dikagumi atasnya. Umar berkata, "Janganlah kalian menikahkan
anak-anak perempuan kalian dengan laki- laki yang sangat jelek rupanya, Sebab,
apa yang membuat seorang laki laki tertarik kepada perempuan, juga sama dengan
apa yang perempuan tertarik kepada laki-laki. membuat
Kesepuluh,
Mengenal Akhlak Calon Pasangan?
Sifat
dan kepribadian calon pasangan bisa dikenali dengan mengenal sifat-sifatnya,
meminta keterangan, dan menyelidiki dari orang-orang yang berhubungan dengan
keduanya, seperti tetangga, atau orang tertentu yang dapat dipercaya dari
kerabatnya seperti ibu, saudara perempuan. Nabi mengutus Ummu Sulaim kepada
seorang wanita dan berkata, "Lihatlah urat ketingnya (urat di atas tumit),
dan ciumlah dua sisi lehernya." (HR. Ahmad, Al-Hakim, Ath-Thabarani, dan
Al-Baihaqi)
Kesebelas,
Bahaya Khalwat (Berdua-duaan) dengan Wanita Pinangan?
Haram
berkhalwat dengan wanita yang telah dipinang, karena statusnya haram bagi
peminangnya sebelum dilakukan akad pernikahan. Syariat hanya membolehkan untuk
melihat saja (saat meminang), sedangkan yang lainnya tetap haram. Tetapi jika
ditemani oleh mahram. boleh khalwat agar tercegah dari perbuatan maksiat dengan
kehadiran mahram itu.
Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi
bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يَحْلُونُ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَم
منها فإن تالتهما الشيطان
"Barangsiapa
yang beriman kepada Hari Akhir janganlah berkhalwat dengan wanita, kecuali ada
bersamanya seorang mahram, karena (jika berdua saja) maka yang ketiganya adalah
setan." [HR. Al-Bukhari].
Keduabelas,
Membatalkan Pinangan dan Pengaruhnya?
Sesungguhnya
khitbah hanyalah sekadar janji untuk melakukan pernikahan; bukan akad yang
mengikat; dan membatalkan pinangan adalah hak dari kedua belah pihak yang
saling berjanji, dan Allah tidak akan menghukum bagi yang menyalahi janji
dengan hukuman materi, sebagai balasan untuk menebus sumpahnya; meskipun
perbuatan itu dianggap sebagai akhlak buruk dan dianggap sebagai ciri-ciri dari
orang munafik Kecuali jika ada hal yang sangat darurat yang mengharuskan
(terjadi) pemutusan pinangan. Dalam riwayat shahih dari Rasulullah bahwa beliau
bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara bohong, jika
berjanji ingkar, dan jika diberi amanah berkhianat." (Muttafaq Alaih).
Mahar
yang diberikan oleh peminang boleh diminta kembali, karena mahar adalah
pemberian yang diberikan sebagai imbalan atas perkawinan dan sebagai gantinya.
Maka, selagi tidak ada perkawinan tidak ada hak atas mahar; dan wajib
dikembalikan kepada pemiliknya karena harta tersebut murni milik-nya. Adapun
hadiah hukumnya seperti halnya hibah Menurut pendapat yang kuat bahwa hibah
tidak boleh diminta kembali jika diberikan semata-mata sebagai pemberian, bukan
sebagai ganti apa pun Dan jika memberikan sesuatu sebagai ganti atas
pemberiannya tersebut akan memperoleh pahala atasnya, dan jika yang diberi
tidak menerimanya, maka boleh meminta kembali pemberiannya itu. Bagi si pemberi
punya hak atas pemberiannya, karena pemberian itu untuk tujuan sebagai ganti;
maka jika tidak terjadi perkawinan, hak kembali kepada yang memberikan.
Pendapat
Ulama
Menurut
madzhab Hanafi bahwa apa yang telah dihadiahkan oleh si peminang kepada wanita
pinangannya, dia berhak untuk memintanya kembali jika dia berhak memintanya
kembali jika hadiah pemberiannya tersebut tetap dalam bentuknya dan tidak
berubah. Namun jika bentuknya berubah dari kondisinya, maka si peminang tidak
berhak meminta kembali atas apa yang telah diberikan atau meminta gantinya.
Menurut
madzhab Maliki, dalam masalah ini ada perinciannya dilihat siapa yang
membatalkan, apakah dari pihak laki-laki atau perempuan. Jika pembatalan dari
pihak laki-laki, maka baginya tidak ada hak meminta kembali atas apa yang telah
diberikan. Ada pun jika yang membatalkan pihak perempuan, maka si perempuan
harus mengembalikan apa yang telah dihadiahkan kepadanya. Baik itu kondisinya
masih tetap seperti semula atau telah usang, maka dikembalikan sebagai
gantinya. Kecuali jika diketahui atau disyaratkan, maka wajib melakukannya.
Sedangkan
menurut penganut madzhab Asy-Syafi'i dikembalikan hadiahnya, baik masih utuh
atau sudah rusak. Jika masih utuh dikembalikan barang aslinya, dan jika sudah
rusak dikembalikan sesuai dengan harganya, dan ini adalah madzhab yang lebih
dekat dengan pendapat kami.[10]
Ketigabelas,
Hukum Cincin Pertunangan
Akhir-akhir
ini, orang-orang biasa memberikan cincin pertunangan kepada wanita pinangannya.
Ia memegang tangan wanita itu — padahal ia masih asing baginya-lalu memakaikan
cincin itu di jarinya. Begitu pula sebaliknya, si wanita memakaikan cincin itu
di jari peminangnya, bahkan cincin ini kadang-kadang terbuat dari emas!
Biasanya prosesi ini berlangsung dalam sebuah pesta yang meriah, di mana lelaki
dan wanita bercampur-baur. Ini semua sungguh kemungkaran yang nyata. Di dalam
Islam tak ada khithbah dengan proses seperti itu, sebab ini adalah tradisi
asing yang dibawa oleh nonmuslim. Ada yang berpendapat bahwa ini adalah tradisi
Fir'aun. Ada juga yang bilang ini tradisi kaum Nasrani. Yang penting, bertukar
cincin pertunangan adalah tradisi luar yang masuk ke tengah komunitas muslim.
Melakukan hal ini sama dengan mengikuti tradisi dan sikap kaum kafir, sebab
Nabi s.a.w. bersabda, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia
termasuk golongan mereka."
Tradisi
bertukar cincin ini haram hukumnya, baik cincinnya terbuat dari emas ataupun
perak. Bahkan keharamannya lebih besar jika cincinnya terbuat dari emas,
wallahu a'lam.
Syaikh
al-Albani rahimahullah berkata, "Di antara bid'ah yang masuk dari luar dan
tradisi buruk yang datang dari negeri kaum kafir dan berlaku di negeri kita
adalah tradisi bertukar cincin. Yakni seorang peminang me- makaikan cincin di
jari pinangannya, sebagai bukti bahwa wanita itu adalah miliknya, dan ia adalah
milik wanita itu.
Dikisahkan
bahwa sebenarnya tradisi ini menggambarkan akidah trinitas yang ada dalam agama
Nasrani. Saat mempelai pria Nasrani memakaikan cincin di ibu jari kiri
istrinya, ia berkata, 'Atas nama Bapa. Kemudian ia memindahkannya ke jari
telunjuknya sambil berkata, 'Atas nama Putra. Setelah itu, ia memasukkannya ke
jari tengahnya seraya berkata, 'Atas nama Ruh Kudus.' Dan ketika membaca,
'Amin,' ia memasangkan cincinnya di jari manis pasangannya.
Ada
satu pertanyaan yang ditujukan kepada redaksi majalah The Woman yang terbit di
London, edisi 19 Maret 1960, hal. 8, yang isinya: "Mengapa cincin pernikahan dipasang di jari manis tangan kiri?
Angela
Talbott, salah satu staf redaksinya menjawab pertanyaan ini dengan menulis,
"Di jari manis tangan kiri ini ada satu syaraf yang ber- hubungan langsung
dengan jantung. Asal-muasal lain dari tradisi ini adalah, saat mempelai pria
memasukkan cincin di ibu jari kiri istrinya, ia mengucapkan, 'Atas nama Bapa.
Kemudian sambil memasukkannya di jari telunjuknya, ia berkata, 'Atas nama
Putra. Dan saat memasangnya di jari tengahnya, ia berkata, 'Atas nama Ruh
Kudus. Terakhir, ia memasangkannya di jari manis istrinya hingga tetap di sana
seraya mengucapkan, 'Amin'"
Kepada
Syaikh Ibnu Baz diajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut: "Apa hukum
memakai cincin pertunangan di tangan kanan peminang dan tangan kiri orang yang
sudah menikah, sedangkan cincin ini tidak terbuat dari emas?"
Syaikh
menjawab, "Kami tidak menemukan dasarnya dalam agama. Oleh karena itu,
sebaiknya hal ini ditinggalkan saja, baik cincin itu terbuat dari perak ataupun
yang lainnya. Akan tetapi, jika cincin itu terbuat dari emas, seorang lelaki
haram memakainya karena Rasulullah melarang kaum lelaki mengenakan cincin
emas."
Syaikh
Ibnu Utsaimin juga pernah ditanya tentang hukum memakai cincin pertunangan.
Jawaban beliau adalah, "Aku berpendapat bahwa hukum memakai cincin
pertunangan ini paling sedikit adalah makruh, sebab ini adalah tradisi yang
diambil dari nonmuslim. Yang penting, setiap muslim harus menjauhkan diri dari
tradisi nonmuslim dalam hal-hal demikian. Jika hal ini diikuti keyakinan bahwa
cincin pertunangan dapat memperkuat hubungan suami istri, sebagaimana diyakini
orang-orang, hukumnya lebih berat lagi karena masalah cincin ini tidak ada
hubungannya sama sekali dengan soal hubungan suami istri. Anda kadang-kadang
melihat sendiri, kendati kedua suami istri mengenakan cincin pernikahan atau
pertunangan, mereka masih bisa berpisah dan bercerai. Sebaliknya, hal ini kadang-kadang
tidak terjadi pada orang-orang yang tidak mengenakan cincin pertunangan atau
pernikahan. Banyak sekali mereka yang tidak mengenakannya, tetapi pernikahan
mereka langgeng dan kehidupan mereka tetap harmonis bersama pasangannya
masing-masing
Syaikh
Shalih al-Fauzan rahimahullah berkata, "Memakai emas bagi kaum lelaki,
dalam bentuk cincin atau yang lain, hukumnya haram karena Nabi s.a.w. telah
mengharamkan emas bagi kaum lelaki umat ini. Beliau pernah melihat seorang
lelaki mengenakan cincin emas, lalu beliau melepasnya dari tangannya. Beliau
bersabda, 'Seseorang dari kalian sengaja mengambil sepotong bara api neraka,
lalu menaruhnya di jari tangannya.
Jelasnya,
seorang lelaki muslim tidak diperbolehkan memakai emas. Adapun cincin yang
terbuat dari bahan selain emas, misalnya dari perak dan barang tambang lainnya,
diperbolehkan, walaupun terbuat dari barang tambang yang mahal harganya.
Cincin
pernikahan bukanlah tradisi kaum Muslimin. Jika saat memakai- nya diikuti
keyakinan bahwa cincin ini dapat menjalin cinta dan kasih sayang antara suami
istri, sedangkan melepasnya dapat memutus hubungan ini, berarti sudah termasuk
syirik. Ini tergolong keyakinan orang-orang zaman Jahiliyah. Karena itu,
mengenakan cincin pernikahan tidak diperbolehkan, dengan dasar poin-poin
berikut:
Pertama,
praktik ini merupakan tradisi nonmuslim yang tidak baik sama sekali, dan bukan
termasuk tradisi kaum Muslimin.
Kedua,
jika saat memakainya diikuti keyakinan bahwa cincin itu dapat memengaruhi
hubungan suami istri, ini termasuk kemusyrikan. Tak ada daya dan upaya
melainkan dengan Allah.[11]
Keempatbelas,
Hukum foto pre wedding sebelum akad?
Belum
nikah, berarti seorang wanita belum halal bagi laki-laki. Bukan hanya tidak
boleh halal hubungan intim, namun segala hal yang menuju zina pun diharamkan.
Termasuk yang menyebar luas di kalangan kaum muslimin saat ini adalah foto pre
wedding. Foto seperti ini tidak dibolehkan karena status pasangan tersebut
belum sah. Sehingga bersentuhan, berdua-duaan, saling berhias diri satu sama
lain masih haram.
Beberapa Kesalahan dalam Foto Pre Wedding
1. Ikhtilat dan Kholwat
Walau memakai jilbab saat foto pre wedding, tetap saja tidak boleh.
Karena Islam melarang berdua-duaan antara pasangan yang belum halal, disebut
kholwat. Islam juga melarang ikhtilat, yaitu campur baur antara laki-laki dan
perempuan.
Dari 'Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di
Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam
لا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ
ثَالِثُهُمَا وَمَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ
مُؤْمِنٌ
"Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan
seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka
barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka
dia adalah seorang yang mukmin." (HR. Ahmad 1: 18. Syaikh Syu'aib Al
Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqoh sesuai
syarat Bukhari-Muslim)
Dari Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
ألا لا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيْبٍ إِلا أَنْ يَكُونَ
نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ
"Ketahuilah! Seorang laki-laki bukan muhrim tidak boleh
bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah, atau ada
muhrimnya." (HR. Muslim no. 2171)
2. Membuka aurat
Ada juga yang sampai membuka aurat yang haram untuk dilihat.
Seperti ini pun tidak dibolehkan bahkan termasuk dosa besar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ
سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءً كَاسِيَاتٌ
عَارِيَاتٌ مُمِيلاتُ مَائِلَاتُ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا
لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
"Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku
lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul
manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok,
kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan
masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama
perjalanan sekian dan sekian." (HR. Muslim no. 2128)
Dalam hadits di atas disebutkan beberapa sifat wanita yang diancam
tidak mencium bau surga di mana disebutkan,
وَنِسَاءً كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلات رُءُوسُهُنَّ
كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ
Yaitu para wanita yang: (1) berpakaian tetapi telanjang, (2)
maa-ilaat wa mumiilaat, (3) kepala mereka seperti punuk unta yang miring.
Yang dimaksud berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang
menutup sebagian tubuhnya dan menyingkap sebagian lainnya, artinya sengaja
membuka sebagian aurat. Adapun maa- ilaat adalah berjalan sambil memakai wangi-
wangian dan mumilaat yaitu berjalan sambil menggoyangkan kedua pundaknya atau
bahunya. Sedangkan wanita yang kepalanya seperti punuk unta yang miring adalah
wanita yang sengaja memperbesar kepalanya dengan mengumpulkan rambut di atas
kepalanya seakan-akan memakai serban (sorban).
Nah, sifat-sifat di atas yang kita temukan juga pada foto
pre-wedding ketika banyak wanita yang berpose dengan pamer aurat tanpa ada rasa
malu.
3- Bersentuhan dengan lawan jenis yang haram
Ada juga yang dalam foto saling bersentuhan padahal belum halal.
Dalam hadits terdapat ancaman keras,
لأنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطُ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ
مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
"Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh
lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya." (HR.
Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih).
4. Tabarruj yang tidak dibolehkan
Jika wanita berpose manis
saat itu. Padahal berpenampilan tabarruj seperti ini diharamkan. Apa itu
tabarruj? Di antara maksudnya adalah berdandan menor dan berhias diri. Itulah
yang kita lihat pada foto pre wedding.
Allah memerintahkan pada para wanita,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu (QS. Al
Ahzab: 33).
Maqotil bin Hayan mengatakan bahwa yang dimaksud berhias diri
adalah seseorang memakai khimar (kerudung) di kepalanya namun tidak menutupinya
dengan sempurna. Dari sini terlihatlah kalung, anting dan lehernya. Inilah yang
disebut tabarruj (berhias diri) ala jahiliyyah. Silakan kaji dari kitab Tafsir
Al Qur'an Al 'Azhim karya Ibnu Katsir, 6: 183 (terbitan Dar Ibnul Jauzi).
Jika seorang wanita memakai make-up, bedak tebal, eye shadow,
lipstick, maka itu sama saja ia menampakkan perhiasan diri. Inilah yang
terlarang dalam ayat,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya" (QS. An Nur: 31).
5. Jika sampai ada adegan "kiss" (ciuman)
Jika sampai ada adegan kiss/ciuman padahal belum halal sebagai
suami istri, maka ini jelas lebih parah lagi.
Ada hadits yang menyebutkan,
أَنَّ رَجُلاً أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً ، فَأَتَى النَّبي -
صلى الله عليه وسلم - فَأَخْبَرَهُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( أَقِمِ الصَّلَاةَ
طَرَفَي النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ
السَّيِّئَاتِ ) . فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِى هَذَا قَالَ «
لِجَمِيعِ أُمَّتِي كُلِّهِمْ »
Ada seseorang yang sengaja mencium seorang wanita (non mahram yang
tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
mengabarkan tentang yang ia lakukan. Maka turunlah firman Allah Ta'ala (yang
artinya), "Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam." (QS. Hud: 114). Laki-laki
tersebut lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pengampunan dosa seperti
itu hanya khusus untuk aku?" Beliau bersabda, "Untuk seluruh
umatku." (HR. Bukhari no. 526 dan Muslim no. 2763). Hadits ini menunjukkan
berciuman bagi pasangan yang belum halal adalah satu hal yang diharamkan dan
dihukumi dosa karena sahabat Nabi yang disebutkan dalam hadits ini menyesal dan
ingin bertaubat.[12]
Kesimpulan
1.
Diperbolehan meminang perempuan yang masih dalam iddah karena ditinggal mati
suaminya atau karena talak ba’in, namun dengan cara sindiran.
2.
Diharamkan melakukan akad nikah dengan perempuan yang masih dalam masa iddah
itu, jika terjadi pernikahan maka pernikahan itu tidak sah.
3.
Diperbolehkan menalak istri yang belum dicampuri sekiranya ada hal yang
mendesak.
Daftar
Pustaka
Kamus almaany.com
Al-Iraki, Butsainah As-Sayyid,Rahasia pernikahan
bahagia, Griya Ilmu,
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir ayat-ayat Ahkam,
Keira Publising, Jawa Barat,
Al-Faifi,
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya, Fikih sunnah Sayyid Sabiq, Pustaka
Al-Kautsar,Jakarta Timur
Al-Mashri,
Syaikh Mahmud, Bekal pernikahan,Qithi Press,Jakarta
Sumber https://rumaysho.com/5503-hukum-foto-pre-wedding.html
[1] Kamus
almaany.com
[2] Rahasia
pernikahan bahagia, Butsainah As-Sayyid Al-Iraki, Griya Ilmu, hal 35
[3] Al-Qur’an Indonesia
[4] Tafsir ayat-ayat Ahkam, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Keira
Publising, Jawa Barat, hal 372
[5] Ibid hal 374
[6] Ibid hal
375
[7] Ibid hal 376
[8] Ibid hal 380
[9] Rahasia pernikahan bahagia, Butsainah As-Sayyid Al-Iraki, Griya Ilmu,
hal 38
[10] Fikih sunnah Sayyid
Sabiq,Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi,Pustaka Al-Kautsar,Jakarta Timur
[11] Bekal
pernikahan,Syaikh Mahmud Al-Mashri,Qithi Press,Jakarta, Hal 323
[12] Sumber
https://rumaysho.com/5503-hukum-foto-pre-wedding.html
Komentar
Posting Komentar